Thursday, April 2, 2009

OBSESI - I know I am an Indonesian... Then what?

Apa yang terbayang kalo kita mendengar kata obsesi? posesif dan kompulsif kah? Kalau definisi saya pribdari, terobsesi itu keadaan sampai titik membuat diri gelisah karena perasaan aneh akan sesuatu hal. Karena perasaan itu biasanya engga diingini, maunya dibuang dan dihindari... tapi susah sekali. Selalu "HAVE TO" yang selalu ada dipikiran, tanggung jawab yang tidak bisa tidak dilakuin sendiri, yang kalo diserahkan ke orang lain seperti bakal sesuatu terjadi. Ya mau ga mau deh untuk ngelakuin juga pada akhirnya. Apa teman-teman pernah merasakan hal seperti ini. Hmm... bagaimana kalo obsesi itu akan sesuatu yang baik, obsesi yang diingini. Obsesi yang membangun? akan sesuatu yang mempunyai dampak luar biasa bagi orang banyak.

Bertempat di ECJ ruangan 1.204, sudah tiga kali diruangan ini diadakan acara yang cukup menarik. Obrolan Sore-sore Seputar Indonesia, atau pendeknya, OBSESI. Dengan topik-topik yang berhubungan, panitia sudah memulai dengan yang pertama tentang Pemilu, dilanjutkan tentang identitas Indonesia dan yang terakhir, di hari Sabtu kemarin, berjudul "I know I am an Indonesian... Then what?"

Dihadiri oleh teman-teman kita sendiri sebagai narasumber dengan ceritanya masing-masing, mewakili sekali dalam pemahaman dan perjalanannya sebagai orang Indonesia. Dengan total enam narasumber, OBSESI kali ini dibagi menjadi dua sesi yang setiapnya bakal dihadiri tiga narasumber dan sesi tanya jawab engga lama setelahnya.

Untuk sesi pertama, Yosua dari Permias college station mewakili orang Indonesia yang berorganisasi di Amerika Serikat. Diceritanya, Yosua bilang tentang majemuknya masyarakat Indonesia di kotanya. Dia dan organisasinya selalu berupaya membangkitkan semangat ke-Indonesian di komunitasnya. Selain untuk mengikuti Pemilu 2009 yang akan berlangsung sebentar lagi, baca koran, itu yang bisa saya tangkap sebagai ajakkannya untuk selalu coba mengikuti berita negeri. Anehnya, walaupun di jaman internet ini dimana informasi sangat mudah untuk didapat, jujur saja masih sulit untuk membiarkan diri duduk didepan laptop dan dengan satu dua klik membuka thejakartapost.com atau kompas.com. Saya sempat terpikir mungkin sampai saya mengalami langsung atau seperti yang seperti disampaikan Yosua dalam presentasi nya, sampai malam sebelumnya gua mendengar berita tanggul jebol dari teman, baru tersentak sadar.

Kalo Yosua bermain di organisasi di Amerika sini, di presentasi kedua, teman kita, kak Tuti menceritakan pengalamannya makan asam garam di beberapa organisasi di Indonesia. Ia mempunyai hati yang besar untuk perjuangan hak-hak kaum perempuan. Dari besar di keluarga kurang mampu, mudah yang menjadi alasannya untuk ia sampai sekarang dengan beasiswa bisa melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Kak Tuti mempunyai cita-cita yang tinggi untuk masa depan bangsa terutama masyarakat yang termarginalisasi, kaum perempuan. Engga bisa saya sebutkan satu persatu organisasi ataupun jaringan (networking) yang lebih luas yang udah dimasukki olehnya. Tapi yang pasti kalau ingin mencari tahu lebih lanjut tentang organisasi, langkah, atau sekedar tips, ia bersedia sekali dimintai tolong apalagi dibantu berjuang.

Sesi pertama diakhiri oleh Audi yang menceritakan kalo dia engga pernah terpikir untuk punya hati untuk Indonesia apalagi sampai menyuarakannya ke orang lain. Tapi siapa yang tahu, kalo lambat laun kecintaan akan negeri ini tumbuh dan klimaksnya sampai ketika dia diminta jadi panitia, bahkan menjadi ketua OBSESI. Pandangannya berubah 180 derajat, dari yang berpikir kalo negara seperti di Afrika sanalah yang perlu dibantu menjadi orang-orang dinegara sendiri. Suatu transformasi yang menurut saya luar biasa untuk dialami oleh seseorang untuk punya hati akan bangsanya sendiri. Sesi satu ini diikuti dengan tanya jawab yang menarik pula, mulai dari pertanyaan seputar nasionalisme, langkah-langkah yang bisa diambil kita-kita yang jauh dari tanah Indonesia, sampai diskusi humor soal bahasa Indonesia baku. Networking yang kalo di Indonesiakan menjadi jaringan =).

Sesi kedua kita kembali dihadiri oleh tiga narasumber, yang juga dari teman-teman kita sendiri lengkap dengan cerita-cerita nya yang unik. Teman kita yang berbicara pertama, mas Yeki begitu panggilannya, menceritakan kegigihan untuk bangkit dari kondisinya yang bagi budaya Indonesia tidak memungkinkan memperoleh cita apalagi kesempatan bersekolah tinggi sampai S2 di Austin sini. Yang membuat saya takjub adalah tidak satu katapun yang keluar dari mulut mas Yeki menunjukkan keluhan, tapi malah kata-kata yang menyemangati. Membuat saya bertanya-tanya dalam batin, sebenarnya temanku ini yang patut dikasihani atau jangan-jangan malah saya sendiri. Dengan keyakinan yang bukan sembarang didapat, perjuangannya juga dilakukan untuk masyarakat yang terhimpit. Bayangkan kalo semua orang Indonesia bersikap seperti ini, alangkah majunya negara kita. Mas Yeki ini seorang tuna netra yang sedang mengambil jurusan special education.

Dan, yang menjadi pembicara selanjutnya, Tan Tan. Tan tan yang baru lulus semester lalu membawakan personal sharingnya selagi dia sedang mengalami masa menanyakan jati diri, cita dan kontribusi yang ingin dilakukan di masa kelulusan ini. Jujur saja engga biasa saya mendengar dari mulutnya dengan keberanian dan kejujuran meneriakkan kalo dia butuh bantuan untuk merealisasikan cita yang dipunya. "Gua ingin merekam cerita orang-orang Indonesia yang jarang terdengar" katanya. "Terutama yang terhimpit, dan kemudian diberitakan ke orang-orang lain" lanjutnya. Lantas langsung aja, engga sedikit juga dari para penonton waktu itu meresponinya. "Abis ini kita ngobrol, gue ada ide yang mungkin cocok ama elo" begitu kata seorang penonton sambil tersenyum senang. Menurut saya, ini komunitas Austin yang asli dan baik budayanya untuk diteruskan. Dimana ketika satu orang meminta tolong untuk merealisasikan impiannya, teman yang lain langsung menjulurkan bantuan. Cita atau proyek nya ini bisa jadi bukan sembarang proyek seperti proyek sekolah yang mungkin dengan keterpaksaan, atau motivasi nilai A. Melainkan bisa jadi buah dari dasar impian hati. Proyek yang mungkin dampaknya jauh lebih besar dari nilai A dan naiknya angka GPA.

Tiba di presentasi terakhir obsesi yang berjudul "I am Indonesian... then what?", Kezia mempresentasikan dirinya yang punya cita kolektif dengan kakak-kakaknya. Sungguh kreatif dan kekompakkan tergambar disini. Kalau dipikir-pikir, sudah jarang sekali hal semacam ini untuk ditemui. Jangankan di Amerika, di Indonesia pun juga kena imbas dari dunia yang makin cepat dan kian individualistik, yang unsur kekeluargaan mulai hilang. Kezia perlu disemangati semangat kekeluargaannya. Ia dan kakak-kakaknya bekerja sama untuk satu tujuan yang dipunya. Kakak yang satu mengambil jurusan manajemen LSM, kakak lainnya dibagian pendidikan, dan dia sendiri komunikasi, mereka bertiga bercita ingin membuka satu lembaga yang bisa memberikan bantuan berupa fasilitas komputer atau alat belajar lainnya. Kepada siapa? kepada sekolah-sekolah yang tidak mampu.

OBSESI yang mangandung banyak cerita itu ditutup dengan penyerahan mug Longhorn (saya yakin Yosua bakal pakai mug ini^^) dan sertifikat tanda terima kasih kepada ke-enam pembicara. Ada hadiah juga untuk pertanyaan paling bagus yang berhasil dilontarkan selama sesi tanya jawab.

Yah, lewat tulisan ini saya punya harapan kalau ajang OBSESI ini bisa terus ada. Sederhana saja alasannya. Pertama, karena saya, dan saya yakin banyak dari yang hadir termotivasi akan cerita cita-cita teman-teman kita yang bukan kecil loh... besar, sebesar bangsa, bangsa kita, Indonesia. Kedua, engga perlu dengan objektif kuantitas yang bisa meramaikan satu auditorium, saya senang sekali dengan kualitas OBSESI ini yang selalu menjadi fokus peningkatan. Bukan berarti saya tidak setuju untuk mencoba menghadiri banyak orang. Saya hanya berpikir kalo dengan kualitas ini sudah mampu menggerakkan hati orang-orang yang biarpun sedikit ini untuk membuat suatu perubahan besar, bagaimana dengan menambah satu orang, dua orang, dan lebih banyak orang... tidak terbayang perubahan macam apa yang bakal ada. Dan semua ini bisa dimulai di kota Austin ini. Jadi bisakah kata "Indonesia" menjadi jawaban dari pertanyaan saya di paragraf pertama diatas?

Wednesday, April 1, 2009

KESADARAN YANG MENYAMPAH

IBARAT SEBUAH RUMAH YANG TAK MEMILIKI TEMPAT sampah dan kamar mandi, kotoran Kota Bandung berserakan di setiap pojok ruangan. Di ruang tidur, di ruang bermain, di ruang makan, di mana-mana. Bahkan di pojok "ruang tamu", di pintu selamat datang Bandung, sampah-sampah menumpuk dan berbau busuk menyengat.

Sampai kapan Kota Bandung akan menjadi kota sampah, semua tak tahu. Bahkan dengan upaya pemerintah Kota Bandung yang rajin mengangkut sampah akhir-akhir ini, diperkirakan sekitar 7 bulan mendatang Bantung baru akan bersih dari sampah. Tapi benarkah 7 bulan, sementara sampah konsumsi Bandung setiap hari semakin bertambah? Dan kuatkah masyarakat Bandung menahan bau busuk menyengat serta penyakit yang dibawa lalat yang berlesatan di depann mata selama itu?

Bandung telah menjadi kota sampah. Masyarakat harus rela menutup hidungnya sepanjang jalan menahan bau busuk sambil mengusir lalat-lalat yang merubung. Dulu ketika sampah Bandung mulai menumpuk busuk pertama kalinya, masyarakat Bandung sewot dan bertanya-tanya mengapa truk pengangkut sampah tak kunjung datang?

Setelah tahu bahwa Bandung tak punya TPA, masyarakat mulai menyadari bahwa sampah disekitarnya tak akan diangkut sampai kota Bandung punya TPA lagi. Masyarakat masih sewot dan mengeluh. Lembaran-lembaran gugatan dan komplain muncul di berbagai surat kabar, spanduk, selebaran, televisi.

Semakin lama sampah menumpuk, kesadaran masyarakat semakin terusik untuk berontak. Sampah-sampah mulai dibakar sendiri dan papan-papan kekecewaan yang terdengar mengancam Pemerintah Kota mulai ditancapkan ditumpukkan-tumpukkan sampah.

Tapi lain dulu lain lagi sekarang. Kesadaran masyarakat Bandung diam-diam sudah mulai menyampah. Merela diam-diam mulai menyadari bahwa sampah harus diterima sebagai bagian dari kehidupan mereka. Sampah menjadi teman. Dan kesadaran untuk mempertanyakan dan mengguga realitas itu mulai menumpul, mulai menyampah.

Ibarat seseorang yang terbuasa dengan kotoran dan sampah berserak di dalam rumahnya, masyarakat sudah mulai menerima dan mau hidup bersama sampah. Dulu, pada masa awal, ketika Kota Bandung disebut kota sampah dalam televisi, masyarakat dan pemerintah kota Bandung geram dan tak terima. kini, siapapun yang menyebut Bandung kota sampah, masyarakat dan pemerintah kota Bandung mulai mengangguk, ya... ya... memang betul sih.

Bahkan ketika Kementrian Lingkungan Hidup mengumumkan Kota Bandung sebagai kota metropolitan terkotor dalam Malam Anugerah Lingkungan Adipura 2006 (Kompas, 13/06/06, h.12), masyarakat dan pemerintah Kota Bandung mulai rela mengangguk mengiyakan.

Sampah dan kesadaran

Hal yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini bukanlah masalah sampah Kota Bandung yang harus segera ditangani, tapi lebih pada kesadaran masyarakat Kota Bandung (khususnya tentang sampah itu) yang mulai semakin menyampah. Masyarakat Bandung yang mulai memiliki kesadaran kolektif yang naif dan tidak korektif.

Kesadaran adalah sebuah fakultas mental yang memberikan manusia kemampuan memahami rasionalitas dan kehendak bebas dan memungkinkan adanya pelbagai penafsiran tentang realitas (Takwin, 2005: 85). Di sini, kesadaran berperan memahami dan menentukan kehendak dan sikap kita secara rasional dalam menghadapi realitas di sekeliling kita.

Persoalan terjadi ketika kehendak dan rasionalitas kita tidak padu dan tidak seimbang. Di sinilah kesadaran kita mulai berubah menjadi kesadaran yang naif dan tidak korektif. Ketika kita mengetahui sesuatu, tetapi kita melaksanakan tindakan yang tidak sesuai dengan pengetahuan kita.

Menurut Paulo Freire, kesadaran manusia terkategorikan menjadi empat jenis. Kesadaran transformatif, kesadaran kritis, kesadaran naif, dan kesadaran magis. Pada tingkat kesadaran naif, ketidakseimbangan dan ketakpaduan antara rasionalitas dan kehendak terjadi begitu rupa sehingga membuat manusia tidak menyadari sesuatu yang dia lakukan sebenarnya tidak sejalan dengan pengetahuannya.

Dalam kasus sampah Kota Bandung yang mulai diterima masyarakatnya sebagai bagian--yang mau tidak mau-- harus diterima, kesadaran naif yang bersifat kolektif mulai menggejala dalam alam pikiran masyarakat Kota Bandung. Mereka mengetahui bahwa keberadaan sampah disekeliling mereka mengganggu dan membawa penyakit tetapi mereka mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dalam keseharian mereka dan tak perlu dikoreksi atau ditinjau ulang.

Thomas Aquinas menggunakan akal sehat (common sense) untuk menjelaskan kesadaran. Dalam Summa Theologica ia mengemukakan bahwa manusia dapat menemukan dirinya menyadari sesuatu dengan pengalaman indrawi dan presepsi. Maka, jika seseorang tak mampu menyadari secara utuh apa yang harus dia lakukan, padahal ia sudah melihat realitas dengan indra dan persepsi nya, maka akal sehatnya perlu dipertanyakan.

Inilah sebenarnya yang perlu diwaspadai: dalam kasus yang begitu tampak seperti sampah saja, masyarakat sudah mulai memiliki kesadaran naif kolektif untuk tidak mempersoalkannya lagi. Apalagi pada masalah-masalah yang tak tampak seperti korupsi di tubuh Pemerintah Provinsi, Korupsi Pemerintah Kota, pembengkakan APBD, dan lainnya; bahwa diam-diam akal sehat kita mulai kotor dan penuh dengan sampah.

Sampah sebenarnya

Sampah sebenarnya tidak terletak di sudut-sudut Kota Bandung atau di tempat manapun, yang mulai menumpuk dan membusuk. Sampah sebenarnya teronggok di pikiran kita dan menghalangi kesadaran kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang benar berdasarkan pengetahuan yang benar.

Sampah yang berserak di jalanan atau di setiap tempat bisa segera kita bersihkan kapan saja. Tapi jika pikiran dan kesadaran kita masih dipenuhi sampah, kita masih akan tetap memproduksi sampah sampai kapanpun. Dan serajin apapun kita membersihkan sampah di jalan, di lapangan, di manapun, sampah-sampah tetap akan keluar dari otak kita, dari wajah kita, dari tubuh kita. Menumpuk dan semakin menumpuk.

Apakah kita harus menunggu sebuah ledakan sampah lagi seperti di Leuwigajah, atau apakah kita harus menunggu kota kita benar-benar dipenuhi sampah, untuk mulai membersihkan pikiran dan kesadaran kita dari sampah-sampah yang menghalangi kita untuk berani kritis dan mengoreksi hal-hal yang salah dan keliru menjadi lebih baik dan benar. Tentu saja tidak. Tentu saja kita bukan orang-orang bodoh yang membiarkan semua itu terjadi.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya berharap kita tak terus menjadi orang-orang bodoh yang hanya akan menghasilkan tindakan-tindakan bodoh. Seperti kata Cicero, dum vitant sulti vitia in contraria currunt. Jika orang-orang bodoh ingin menghindar dari perbuatan yang salah, mereka biasanya melakukan sebaliknya.

FAhd Djibran
Insomnia Amnesia. Catatan Mahasiswa Insomnia Bagi Bangsa yang Amnesia
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Press, Yogyakarta: 2007.

Thursday, March 26, 2009

Salam dari tengah-tengah hujan

Sedemikian pula waktu berjalan dengan pelan. Ketika sedang menunggu giliran presentasi, sang penulis teringat kepada kampung halamannya dahulu di Austin, Texas. Andai ia dapat kembali, bersama teman-temannya yang sudah dikenal dengan baik. Tidak disangka takdir membawanya ke Atlanta, dimana saya bisa belajar di salah satu universitas yang terkenal dalam subyek teknik penerbangan. Tidak disangka pula, sudah banyak ia perlu meninggalkan orang-orang: dari sejak ia pindah studi ke singapura sampai saat ini. Dimana banyak orang yang mempunyai impian untuk berkelana di tempat nan jauh, sang penulis sangat bimbang untuk pergi. Dua sisi koin: dimana satu menayangkan masa depan, dan satu lagi melambangkan nostalgia.

Akhir tahun 2008, penulis menerima kabar bahwa ia diterima di Georgia Institute of Technology, untuk melanjutkan bidang pelajaran di tingkat S2. Uang sekolah dibayar, bahkan pekerjaan yang memberi gaji bulanan. Kemungkinan hal ini cukup untuk orang-orang mengambil tawarannya. Meskipun disaat itu penulis tidak ingin pindah ke Atlanta (karena alasan cuaca dan berbagai alasan lain), ia tidak merasa bahwa hidupnya akan sangat berubah.

Alangkah berbedanya realita dan ideal dari sang penulis ketika ia sampai di kampus sekolah untuk pertama kali. Dia tidak tahu menahu dan tidak mengerti apapun, ketika dikirim kesana kemari untuk membereskan formulir-formulir sekolah, ketika ia harus masuk ke dalam kelas yang berisi tujuh puluh murid lainnya, dan ketika ia harus belajar untuk mengejar pelajaran yang tidak dia ikuti dari tahun silam. Semua ini sangat asing baginya. Tidak ada orang yang dikenal. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara. Baru kali ini sang penulis merasa sepi. Dahulu, ia dapat melakukan kegiatan sendiri dan tidak perlu bertatap muka dengan siapapun. Saat ini, ia merasa hidupnya tidak lengkap dengan ketidakberadaan orang-orang tersebut.

Apakah yang terjadi dalam masa 3 bulan ini? Sang penulis masih belum mengerti dengan penuh. Tetapi, apa yang ia dapatkan semasa ia berkunjung kembali ke Austin adalah keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaaan sang penulis di saat ini. Meski ia telah mengenal orang-orang lain di kota baru ini, ia tetap tidak akan melupakan teman-teman yang ia tinggalkan. Merekalah yang memberinya kekuatan di saat-saat yang tidak pasti, di saat-saat bimbang, dan di saat-saat yang tidak menyenangkan.

Dan akhirnya, sang penulis dipanggil oleh salah satu anggota tim untuk masuk ke ruang presentasi. Inilah akhir dari cerita pendek yang bisa ia tulis dalam waktu satu jam selagi menunggu. Kiranya ini bisa menjadi memori yang tertulis atas kerinduannya di tempat yang lama.

Jeffrey Tanudji

Saturday, February 7, 2009

Asyiknya main Facebook

Fadillah Putra

Judul di atas sengaja aku pilih sebab teringat buku-buku sekolah anakku hampir semuanya memiliki judul serupa. Seperti “Asyiknya bermain Angka”, “Asyiknya Mewarnai”, “Asyiknya Belajar Bahasa Inggris”, dll. Setelah kubuka-buka, isi di dalamnya, secara mengejutkan, ternyata juga emang sangat mengasyikkan. Bahkan untuk seorang yang berusia tak lagi muda ini. apakah betul sesuatu yang mengandung ke-asyik-an itu bersifat universal dan menerabas usia, jenis kelamin, etnisitas dan kelas?

Semenjak beberapa tahun terakhir ini dunia tengah tenggelam dalam keasyikan baru yang bernama Facebook. Kalau dilihat secara kuantitatif sebenarnya Facebook tidaklah memiliki angka yang fantastis. Member yang tercatat dalam Facebook saat ini [hanya] 90 juta (data dari Zeta Interactive, Peanut Labs Media dan Hinger Media 2009) . Terutama di bandingkan penguna layanan surat elektrik (Email) Yahoo yang mencapai 260 juta. Tapi tentu saja Anda akan menyangkal bahwa antara Yahoo dan Facebook itu beda spesies. Okey, lalu kalau kita bandingkan dengan Friendster, ternyata Friendster juga memiliki angka yang sama yaitu 90 juta (TIME 27 Okt 2008).

Lalu mengapa Facebook sekarang terkesan lebih “poweful”? Masih dari TIME, ternyata sejak berdiri hingga sekarang Friendster hanya berhasil menembus pasar Asia saja (90% pengguna Friendster adalah Asia), sementara Facebook, baru satu tahun belakangan ini menembus Asia. Sehingga bila Facebook berhasil menembus 50% saja market-share Asia (aku perkirakan market-share untuk bisnis ini sampai 300 juta), jumlah membernya akan menjadi dua kali lipat dibandingkan Friendster (dan ingat dalam bisnis ini multiple-account sangat dimungkinkan). Berapa banyak duit yang dihasilkan Mark Zuckerberg dkk dengan bisnis Facebook ini? Akhir Tahun 2008 total kekayaan Facebook adalah US$ 516 million atau bekisar Rp. 50 Trilliun! Jauh lebih besar dari total APBD Prov. Jatim yang cuman Rp. 20-an Triliun. Bisa dibayangkan bila target minimum 50% pasar Asia bisa tercapai sampai tahun 2010, total kekayaan Facebook bisa separuh dari APBN Indonesia! Sebuah lembaga tanpa minyak, tanpa tanah bisa bikin uang sebanyak itu.

Aku baru saya menikmati asyiknya bermain angka-angka Facebook, sekarang bagaimana dengan asyiknya ngerasani Facebook.

Harvey Jones (2008), peneliti dari MIT, dan juga sebagaimana dilansir banyak media, mengatakan bahwa ternyata selama ini sistem keamanan Facebook tidaklah kokoh. Hal ini membuat data-data yang terdapat dalam Facebook dapat dengan udah diakses untuk kepentingan-kepentingan memata-matai (survelliance). Beberapa gosip juga beredar bahwa ternyata source code dari situs ini juga telah bocor ketangan beberapa orang, terutama agen-agen CIA. Bayangkan bila Anda memiliki akses atas data 100 juta orang, lengkap dengan profil, hobby, siapa saja kawan-kawannya, bahwa perasaan apa yang sedang mereka rasakan saat ini. Sempat terbayang dibenakku untuk membuat semacam time-series table dinamis tentang perubahan perasaan 100 juta orang dari hari-kehari.. hmm.. Jadi singkatnya, membuka account di Facebook sama saja menelanjangi diri kita sendiri untuk diekspose ke muka publik. Begitulah kira-kira hasil dari riset pak Harvey.

Hal mutakhir yang menarik tentang Facebook adalah soal foto-foto gambar ibu lagi menyusui. Tim sensor Facebook belakangan ini ‘memberedel’ foto-foto ini karena diangap cabul (obscene). Ribuan protes berdatangan, utamanya dari masyarkat Amerika (Utara, Tengah, Selatan) dan Eropa. Tapi ternyata Facebook tetap menyensornya, kenapa? Karena Facebook sudah mulai sadar dan menempatkan posisinya konteks internasional. Ingat, bahwa pelanggannya juga ada di Timur Tengah, Asia Tenggara dan Selatan. Dan konon, untuk memutuskan ini telah terjadi perdebatan yang sangat sengit. Lucu sekali, masalah buah dada seorang ibu yang lagi menyusui saja bisa jadi masalah besar dalamsebuah insitusi berskala puluhan triliun rupiah.

Kampanye-kampanye politik di dalam situs ini yang tidak terorganisir dengan rapi juga bertebaran di mana-mana. Barrack Obama juga menggunakan situs ini sebagai media kampanye politiknya adalah salah satu contoh. Sekarang di Indonesia kita sudah mulai melihat bagaimana beberapa caleg juga, secara amatiran, manfaatkan Facebook sebagai media kampanye gratis (hmm.. perlu diteliti berapa banyak penguna Facebook yang nyoblos dalam pemilu).

Beberapa negara, seperti Syiria, Burma, Bhutan dan Iran, juga telah memblokir peredaran Facebook di negaranya sebagaimana Prof. M. Nuh pernah memblokir Youtube bebera bulan lalu. Hal ini mereka anggap karena situs ini membuka peluang terbangunnya aliansi dan komunikasi para pemberontak sebab memang keadaan politik internal di negara-negara sedang kacau. Khusus bagi Iran, tentu dengan membawa-bawa wacana agama, mengatakan bahwa Facebook adalah budaya barat – Amerika – dan ehm.. kafir.

Sekarang Facebook sudah mulai menjalari Indonesia, bahkan aku sendiri berhasil menemukan teman SMP yang sudah puluhan tahun tak bersua. Lagi-lagi penyesalan hanya satu saja terbesit, identitas kita di maa dunia hanya dilihat sebatas market-share. Kita hanyalah angka dan prosentase di mata mereka.

Sekarang Facebook sudah mulai menjalari Indonesia. Kawan-kawan di kantor, di NGO ku, teman-teman kuliah, teman se-perbeasiswaan, bahkan saudara-saudara ku semuanya telah ter-digitalized keberadaannya. “Nafsu” untuk pulang dan bertemu makin menipis, sebab kabar mereka dan muka-muka mereka, muka anak-anak mereka bisa kuupdate setiap saat.

Berapa menitkah aku telah menghabiskan waktu di depan halaman cyber berwarna biru ini hari ini? Asyik bukan?

Friday, January 2, 2009

Melihat Indonesia Yang Sebenarnya

Sebagian besar dari kita yang sekolah di Amerika lahir dan dibesarkan di kota-kota besar di Indonesia. Kita telah terbiasa dengan pemandangan kota, gedung-gedung tinggi pencakar langit, kemewahan dan gaya hidup yang ditawarkan oleh perkotaan. Namun gambaran ini sebenarnya hanyalah satu gambaran yang sangat semu tentang Indonesia. Fakta yang sebenarnya adalah Negara kita masih tergolong miskin dan masih banyak rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun Negara kita ini sangat makmur, namun masih banyak daerah-daerah yang tertinggal.


Di liburan kali ini saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Lamongan, satu kabupaten yang terletak di sekitar Surabaya. Kota tersebut dilewati jalur Pantura yang menghubungkan pelosok Jawa Barat dengan Jawa Timur. Di kota inilah sahabat saya Fadil Putera bersama keluarganya berada. Fadil tinggal di satu desa di sekitar kota Lamongan. Suasana desa ini sangat damai dan tenang. Setiap warga desa kenal satu dengan yang lain dan saling menyapa tiap kali bertemu. Baru kali ini saya berkunjung ke desa, pengalaman ini telah membuka mata saya.


Sebagian besar dari warga desa bermata-pencaharian sebagai petani. Hampir di seluruh pelosok desa bisa ditemukan tambak yang terisi air yang tingginya sepinggang.


Tambak-tambak ini ditanami bibit padi yang dirawat hingga panen nanti. Waktu panen, padi diproses sehingga beras bisa terpisah dari kulitnya dan dibungkus, siap untuk dijual di pasar.

Kulit beras biasanya dijadikan makanan ayam atau dijadikan semacam ‘baygon’ untuk mengusir nyamuk kalau dibakar. Setelah panen biasanya para petani memakai tambaknya untuk memelihara ikan atau udang agar bisa dijual untuk mendapat pemasukan lebih.


Membantu Si Miskin Dengan Membuka Usaha

Fadil pernah berbincang dengan saya tentang pengalamannya dalam satu proyek yang diprakarsai oleh World Bank untuk membantu warga miskin di desa-desa. Salah satu caranya adalah dengan membagikan uang sebesar Rp 500.000 ke setiap kepala keluarga dan berharap mereka akan memakai modal ini untuk berusaha. Tapi akhirnya upaya ini gagal dikarenakan uang yang diterima warga miskin semuanya dipakai untuk membeli kebutuhan pokok. Sebagian besar dari warga miskin ini tidak memiliki keahlian yang bila ditunjang dengan modal yang cukup bisa berkembang.


Para peneliti dari World Bank mungkin tidak pernah terjun langsung ke desa-desa dan menyaksikan apa yang terjadi, sehingga teori-teori yang mereka kembangkan sering kali tidak membantu justru membawa dampak sebaliknya. Fadil sendiri, yang sudah bertahun-tahun tinggal di desa ini lebih mengetahui seluk beluk kehidupan di desa, pengamatan dia yang lebih dalam memberikan dia bekal untuk bisa memikirkan solusi yang kreatif dan kongkrit untuk menolong warga-warga yang miskin.


Upaya yang dilakukannya selama ini adalah dia membeli beberapa ekor sapi yang kemudian dipelihara oleh warga setempat yang dipekerjakan. Satu kerbau ditangani oleh satu pekerja. Pekerjaannya tidaklah membutuhkan keahlian. Paling kerbaunya perlu dibawa ke sungai untuk dimandikan, perlu dikasih makan dan sebagainya. Setelah beberapa bulan sapinya sudah bisa dijual dan labanya bisa dibagi dengan para pekerja.


Kalau kita berpikir secara teori management, efisiensi operasional sangatlah minim apabila setiap ekor dipelihara oleh satu orang, karena satu orang sebenarnya bisa memelihara empat hingga lima ekor sapi. Di sinilah perbedaan usaha yang berupa bantuan dan usaha yang hanya mementingkan laba. Usaha ini lebih bersifat membantu.


Dampak Kelangkaan Pupuk

Dahulu kala petani membuat pupuk sendiri dengan memakai kotoran hewan atau bangkai tanam-tanaman yang sudah hancur. Pada saat orde baru pemerintah mulai menyalurkan pupuk urea yang terbuat dari bahan-bahan kimia. Bila dibandingkan, pupuk urea dapat memberikan hasil yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Ini membuat pupuk urea lebih dipilih oleh petani. Namun pupuk ini ternyata merusak tanah dan apabila terlalu sering dipakai bisa membuat tanah menjadi tidak subur, diperlukan masa tenggang untuk mengembalikan kesuburannya lagi.


Pupuk urea ini bisa disamakan dengan candu, sekali dipakai petani akan mau terus. Padahal sekarang pemerintah sudah tidak bisa lagi mendistribusikan pupuk urea ini dengan mudah sebab pemerintah ingin petani bisa mengembangkan pupuk alami sendiri. Yang memproduksi dan yang mengecerkan (distribute) pupuk ini ditunjuk oleh pemerintah dan jumlah diecerkan sangat terbatas. Di sinilah terletak kekurangan mekanisme ini, sebab pengecer ini bisa berkolusi dengan pejabat setempat atau, dengan minat hanya ingin mencari laba, menyalurkan pupuk urea ke desa lain dengan harga yang lebih mahal.


Hal tersebut sering kali hanya membawa keuntungan besar bagi pengecer dan merugikan warga desa. Kadang kala konflik antar desa terpicu karena pada saat satu desa sedang membutuhkan pupuk urea, pengecer menjual pupuk ini ke warga desa yang lain dengan harga lebih mahal.


Entertainment Ala Desa

Apabila di kota ada warnet, di mana kita bisa berkumpul dengan teman-teman untuk bermain multiplayer game, di desa adanya ini…


Inilah multiplayer game bagi bocah-bocah di desa. Sangat sederhana, kreatif dan unik. Dengan bermodal sepeda, tape player dan beberapa alat-alat lain, sepeda ini bisa diubah menjadi sebuah mobile theme park. Anak-anak yang sedang naik sepeda ini dibawa keliling desa sambil menikmati musik. Bocah-bocah di sekitarnya yang melihat mereka jadi kepingin naik juga. Hiburan seperti ini bagi anak-anak desa sudah sangat bergengsi.


Sekian dulu laporan saya. Pengalaman ini menyadarkan saya kalau saya ini telah diberikan sumber daya yang berkelimpahan oleh Tuhan. Kita yang diberikan lebih oleh Tuhan sepantasnya bersyukur dan menghargainya. Terutama bagi orang-orang yang mampu bersekolah di luar negeri, kita sepantasnya menoleh ke belakang dan memikirkan nasib bangsa kita. Kalau teman-teman mau tau lebih banyak lagi mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol sama Fadil langsung waktu di Austin. Last but not least, Selamat Tahun Baru 2009 buat anak-anak Austin dan juga yang di Indo.

-Amri Tjahjadi-


Friday, December 5, 2008

B3 = Belajar Bareng-Bareng Yuks!!

Yak! Kali ini post-nya mau mempromosikan B3. Apaan itu B3? Bukan... bukan sejenis vitamin seperti B1 atau B2. Bukan juga tiruannya film Indonesia "BBB (Bukan Bintang Biasa)".. By the way, itu filem kurang bagus... Bertaburan bintang-bintang muda, tapi ceritanya biasa aja dan aktingnya juga biasa aja. Terus, ada si Laudia Cynthia Bella yang main, yang personally gw rada ga suka.. hehe.. OK OK balik ke topik.. Jadi, B3 itu dibacanya "B Cube" dan singkatan dari "Belajar Bareng-Bareng"!

Jadi, B3 ini adalah semacam kumpulan tutor-tutor anak Indo, yang menyediakan waktunya sekali seminggu buat bantu anak2 Indo lainnya di bidang pelajaran atau apa aja yang lebih bersifat akademik. Jadi kalau mau tips2 wawancara, atau tips2 buat graduate school, atau butuh dihibur waktu lagi stress nilai2 jelek, atau butuh cemilan untuk nemenin belajar, coba aja tanya ke tutor2 ini.. Tutor-tutornya cukup banyak dan mencakup hampir semua mata pelajaran kuliah yang dasar (freshmen/sophomore levels). Jadi yang butuh bantuan atau teman belajar, go ahead and check them out!

Biasanya, B3 ngumpul hari Minggu sore jam 2-4 di ECJ lantai 1. Tapi, mungkin bisa berubah2 sesuai suasana dan kebutuhan. Untuk info, silahkan hubungi Rizky Djong.. (rizky5@yahoo.com) atau lihat websitenya mereka.. http://www.b-cube.org/.

Di bawah ini ada foto2 ketika B-cube lagi in action..

Rizky lagi bantu Sendra belajar sambil ketawa-ketawa.


Bella lagi bantu Dhanny belajar sambil maen komputer.

Winny lagi bantu Geby belajar sambil ngemil.


Lisa, Audi, dan Vicky sedang serius bikin peer.


Mandy lagi bantu Lydia belajar fisika.


Nico lagi bantu Tifanny belajar sambil pose buat difoto.

Dan yang terakhir....................

Tutor Sam dan Tutor Mandy main-main Mac dikala beristirahat!

Nah... OK kan? Dapet bantuan akademik GRATIS, dapet temen-temen belajar, dan dapet entertainment dari tutor2 at the same time. Bahkan kalo ada yang lagi bawa cemilan, bisa kebagian juga. Again, check out the website or contact Rizky if you're interested!

Tuesday, November 11, 2008

Bagaimana Menjadi Donor yang Strategis?

Oleh Tuti A. Najib

Jika kita memiliki uang Rp. 1000 atau Rp. 10.000 dan ingin
memberikannya pada orang lain yang kurang beruntung, mungkin tanpa
berpikir panjang, uang itu akan langsung berpindah tangan. Tapi,
bagaimana jika uang tersebut Rp 10 atau 100 juta, mungkin kita akan
berfikir dulu, ke mana uang tersebut akan diberikan, untuk siapa, dan
mengapa harus memberikan uang sebesar itu? Tulisan ini mencoba melihat
bagaimana menjadi donatur yang strategis ketika kita memiliki sejumlah
dana untuk disumbangkan.

Menyumbang untuk jumlah tertentu memang perlu strategi sehingga apa
yang kita sumbangkan bermanfaat bagi penerimanya. Tragedi zakat di
bulan Ramadhan tahun ini memperlihatkan satu gambaran di mana sang
muzakki ingin memberikan uangnya kepada sebanyak mungkin orang kalau
bisa ribuan orang. Sayangnya, keinginan untuk memberi kepada sebanyak
mungkin orang tersebut berakhir tragis dengan meninggalnya 21 orang
tak berdosa karena berdesak-desakan demi mendapat santuan Rp 30.000.

Menjadi seorang dermawan adalah mulia. Tapi bagaimana dermawan bisa
memberi dampak sosial yang lebih besar kepada masyarakat penerima,
bukan hanya membantu individu-individu untuk memenuhi keperluan sesaat
seperti santunan makanan dan uang.

Menurut Peter Frumkin, seorang profesor dan pakar filantropi dari
University of Texas at Austin, empat hal yang perlu dipertimbangkan
ketika seseorang berniat menyumbang. Pertama, terkait dengan
pertanyaan apa yang hendak kita capai dengan memberi? dengan kata lain
apa tujuan memberi. Apakah untuk memenuhi interest donatur atau
interest penerima. Dua kepentingan ini bisa dikompromikan dengan apa
yang disebut sebagai philanthropic value. Yaitu nilai-nilai yang
berpijak pada kompromi antara kepentingan pemberi dan kepentingan
masyarakat umum.

Kedua, seorang donatur yang strategis juga hendaknya melihat bagaimana
style dia sebagai pemberi. Apakah seorang pemberi cukup mengeluarkan
uang atau menulis selembar cek dan mengirimkan kepada organisasi
sosial tanpa tahu bagaimana organisasi tersebut mengelola dana.
Ataukah kita seorang yang sangat peduli bagaimana dana filantropi
dikelola. Keingintahuan dari pemberi bisa dikategorikan sebagai high
involvement terhadap pengelolaan filantropi. Sedangkan
ketidakingintahuan bisa dikatakan sebagai low involvement. Keinginan
pemberi untuk tahu ke mana sumbangan diberikan dan bagaimana dikelola
bisa bermakna positif karena akan berimplikasi pada keterlibatan untuk
memikirkan bagaimana organisasi filantropi berkembang. Kita mungkin
bisa menyumbangkan tenaga dan fikiran, bahkan membukakan relasi yang
lebih luas kepada organisasi. Jadi, dengan terlibat membantu
memikirkan perkembangan organisasi, kita tidak hanya memberi sumbangan
materil, tapi juga moril.

Ketiga, donatur perlu memikirkan kendaraan apa yang akan digunakan
untuk mengalirkan bantuan. Apakah langsung memberi kepada penerima
individu di sekitar rumah atau lingkungan pemberi, ataukah kita hendak
menggunakan organisasi untuk menyalurkan sumbangan tersebut. Ada
banyak pilihan buat para donatur untuk bisa memberi pengaruh yang
lebih besar kepada masyarakat penerima jika mereka ingin menyumbang.
Ada organisasi filantropi pemerintah seperti Badan Amil Zakat (BAZ),
ada Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta seperti Dompet Dhuafa Republika,
PKPU, dan LAZIS Muhammadiyah. Ada pula organisasi filantropi yang
dikelola media seperti RCTI Peduli dan ANTV Peduli. Tak ketinggalan,
organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU juga menerima
sumbangan masyarakat luas. Saat ini, yang terbesar menerima sumbangan
masyarakat Muslim adalah masjid.

Namun, donatur juga mempunyai pilihan untuk menyumbang
organiasi-organisasi sosial yang bekerja untuk anak, orang lanjut
usia, maupun para pencandu narkoba dan penderita aids. Mereka bisa
mengalirkan bantuan kepada yayasan sosial seperti panti asuhan, panti
rehabilitasi, dan panti jompo. Banyak para pecandu narkoba datang dari
kalangan tidak mampu. Mereka tidak bisa mengakses panti rehabilitasi
karena kesulitan dana. Juga, penderita aids bisa datang dari keluarga
miskin yang mungkin tidak mampu membeli biaya pengobatan. Begitu juga,
mungkin banyak para lansia yang datang dari keluarga tidak mampu dan
tidak memiliki sanak keluarga yang bisa merawat mereka.

Tak ketinggalan, yang perlu disumbang adalah lembaga pendidikan dan
lembaga riset yang saat ini masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Bagaimana universitas di Indonesia bisa menjadi universitas
internasional jika akses terhadap perkembangan dunia ilmiah dari luar
negeri saja tidak bisa diperoleh dengan mudah. Pemerintah atau lembaga
pendidikan kita belum mampu membiayai riset yang bertaraf
internasional atau menyediakan fasilitas untuk melakukan riset yang
berkualitas. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yang masih memerlukan
uluran tangan donatur seperti seni, budaya, dan olah raga.

Keempat, donor perlu menimbang jenis dan lingkup kegiatan yang bisa
dicapai oleh sumbangan. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil.
Action vs. ideas. Apakah pemberi akan menyumbangkan dana untuk
kegiatan yang bersifat langsung (direct services) seperti pemberian
santunan makanan, santunan uang, membiayai shelter untuk perempuan
korban kekerasan, atau menyumbang panti rehabilitasi. Di sisi lain,
donator juga bisa memilih kegiatan yang sifatnya lebih mengarah pada
pencapaian ide seperti kegiatan advokasi, riset, dan pengembangan.
Aktivitas advokasi semacam ini dibedakan dari direct services karena
efek yang dihasilkan tidak bisa lihat langsung. Advokasi untuk
perubahan kebijakan dan riset ilmiah, misalnya, bisa tercapai dalam
beberapa tahun. Namun demikian, kegiatan yang bersifat jangka panjang
ini tetap perlu didukung karena dampaknya yang bisa jauh lebih besar
dari kegiatan layanan social secara langsung. Hasil riset bisa
mendukung arah para pembuat kebijakan dan praktisi dalam menyediakan
layanan social yang efektif. Demikian juga, advokasi yang berbuah pada
kebijakan publik yang pro-rakyat kecil bisa menguntungkan jauh lebih
banyak orang daripada membantu individu-individu secara langsung.

Begin vs. Build. Pilihan krusial lain yang juga perlu menjadi
perhatian donor ketika ingin menyumbang adalah apakah ia akan
menyumbang organisasi atau kegiatan yang sudah eksis ataukah membuat
organisasi atau kegiatan baru. Tentu saja, ada kelebihan dan
kekurangan ketika donor menentukan membangun dari awal atau meneruskan
kegiatan atau organisasi yang sudah ada. Membangun dari awal menjadi
sarana dimana donor bisa menuangkan gagasan dan ide cemerlang dalam
bentuk kegiatan real. Juga, mungkin bisa menggaet donator lain untuk
bergabung. Di samping itu, membangun organisasi dari awal memiliki
fleksibilitas dari sisi staf dan organisasi sesuai dengan yang
diinginkan.

Akan tetapi, ada kekurangan ketika memulai kegiatan dari nol.
Misalnya, bisa jadi kegiatan atau organisasi yang dibentuk adalah
repetisi, artinya sudah banyak yang melakukan kegiatan serupa. Di
sini, perlu kejelian donor untuk memerhatikan pentingnya konsolidasi
antar lembaga filantropi dan organisasi yang sudah ada. Di samping
itu, tentu saja, memulai organisasi dari awal akan lebih banyak
menyita waktu, perhatian, dan dana yang lebih besar. Karenanya, donor
perlu merasa yakin jika membuat kegiatan atau organisasi baru adalah
pilihan yang tepat.

Few vs. Many. Pertimbangan lain yang perlu menjadi perhatian donor
adalah apakah pemberi ingin memberikan dananya kepada sedikit
organisasi tapi dalam jumlah besar atau kepada banyak organisasi kecil
tapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Memilih menyumbangkan dalam
jumlah yang besar dan dikelola oleh sedikit organisasi kemungkinan
bisa memberi dampak lebih besar karena mereka bisa membuat kegiatan
yang besar. Namun, memberi kepada organisasi yang lebih kecil juga
penting apalagi ketika donor masih mempelajari isu-isu sosial yang
dianggap penting yang ingin ia sumbang.
Juga menarik ketika pilihan donor dikontraskan antara memberi kepada
sedikit individu atau kepada lebih banyak individu. Seorang dermawan
yang mengundang ribuan orang untuk mendapat santunan meski dengan
jumlah yang tidak banyak menarik untuk menjadi contoh. Sang dermawan
ingin uangnya dinikmati sebanyak mungkin orang sehingga lebih
memengtingkan jumlah penerima daripada kualitas sumbangan.

Local vs. Global. Pilihan lain yang bisa menjadi pertimbangan antara
memberi kepada organisasi local, nasional, atau internasional. Mereka
yang menyumbang untuk organisasi lokal biasanya peduli dengan
masyarakat dan lingkungan sekitar dimana mereka tinggal. Namun, donor
juga mempunyai pilihan untuk memberi dampak yang lebih luas kepada
masyarakat di luar lingkungannya. Mereka bisa menyumbang organisasi di
tingkat nasional bahkan bisa membantu masyarakat luar negeri yang
tinggal di negara berkembang lainnya. Untuk konteks Indonesia saat
ini, tentu saja, masyarakat lokal dan masyarakat Indonesia pada
umumnya masih lebih banyak membutuhkan sumbangan baik dari donor di
dalam maupun di luar negeri.

Perlu beberapa pertimbangan untuk mewujudkan sumbangan yang membawa
perubahan pada masyarakat. Empat strategi menjadi donor di atas,
tujuan memberi, cara memberi, tipe organisasi yang akan disumbang, dan
jenis kegiatan serta ruang lingkup sumbangan, diharapkan bisa memberi
arah untuk menjadi donor yang strategis.

Wednesday, October 22, 2008

OBSESI



Hore!! Akhirnya jadi juga perwujudan dari Konvensi Pancasila Austin. Bagi yang belum kenal, konvensi pancasila ini adalah gabungan dari organisasi-organsasi Indonesia yang ada di Austin dan kita memakai Pancasila sebagai pemersatu. Acara pertamanya adalah sebuah pembicaraan serius santai tentang Pemilu Indonesia 2009 dengan pembicara Mas Fadil (itu loooh yang rajin nulis buat kopi susu ;)) dan Pak Alit dari Konjen Houston.

Nama acaranya juga lucu.. OBSESI.. Obrolan Sore Seputar Indonesia! (Kebayang artis2 centil pembaca acara gosip ga sih?) Yak, jadi, dateng ya! Ada Mas Fadil gitu loh! Ya ga Mas? hehehe...

Wednesday, October 15, 2008

Sang Pemburu Nasib



Nasibku, seorang anak datang ke dunia. Suci layaknya anak singa membuka mata memandang hutan rimba. Kumelihat dunia tawarkan keasingan, dalam kemiskinan. Kedua tanganku dibakar amarah dan ego. Tangan kanan bermain dadu, perlihatkan kebusukan lelaki. Tangan kiri menggores kulit sendiri dengan pisau. Hormat dimatikan dengan dendam; surga tak nampak lagi di kaki siapapun. Jari-jariku mati rasa, karena pergulatan satu sama lain. Keluargaku miskin. Oh nasibku.

Nasibku kudorong, hendaknya bergeser. Lemah bahuku membuka pintu keluar. Kumelihat dunia di mana kebebasan kucari, dalam kemiskinan. Mataku terpaku ke depan. Yang kuburu menjual kepuasan emas. Sendiri kumemicingkan mata ke sasaran, walau jauh dan tak pasti. Kubawa bekal ilmu dan ideologi ke mana-mana. Mulutku dibungkam sekitarku, mereka yang menampilkan emas di kulit tubuhnya. Kubenci mereka yang menolak melihatku karena ketelanjanganku. Cih … biar kubelajar berenang ke seberang; walau perahu tak mau mengangkut pemuda miskin. Aku bekerja. Ah aku miskin.

Nasibku kutendang kesana kemari, kumainkan. Genggaman jari-jariku merusak kunci di depan, mendobrak. Kubawa masuk hanya diriku, dalam kemiskinan. Kucoba air kotor di lautan kering. Sasaran terlihat semakin dekat. Batu-batu kulompati dengan mudah; sang Pencipta tunjukkan jalan. Tusukan-tusukan dari samping tak mampu menggenggam pergelangan kakiku. Aku berlari. Memang aku miskin.

Nasibku tak ada lagi. Aku telah dipimpin cahaya. Kupikir, nasib mati dalam kegelapan.

Cahaya menaruh tanggannya di pundakku senantiasa. Hangatnya ingatkanku akan perjuangan dalam kemiskinan. Terangnya lingkupi mereka yang tak terlihat telanjang mata. Kuatnya memberi tujuan.

Nasib, aku masih miskin. Belum tuntas perang ini. Tapi aku tak miskin moral. Aku tak miskin pendirian. Aku tak miskin arah. Maka enyahlah! Jangan gangguku lagi.

Setra


Soliloquy (Blog Action Day 2008: Poverty)



Oleh: Fadillah Putra

Tepat seminggu lalu aku berjalan menyusuri town lake dengan niat jahat memamerkan dan menyombongkan keindahan Austin pada kawan-kawan dari New Orleans. Sore itu, setelah berjalan beberapa depa, kulihat ada selimut tergelar di semak belukar, sebuah back pack, dan dua botol bir terserak. Tak ada orang di “rumah” itu, tapi setelahnya, ketimbang memanjakan mata dengan melihat tanaman, air dan manusia-manusia indah, aku malah jadi tertarik untuk mengobservasikan mataku pada sudut-sudut gelap, kusam dan hina.

Hingga kulihat di sebuah meja taman seorang lelaki dengan bau bir bercampur keringat yang sangat menyengat, tertidur pulas. Kepalanya di taruh di atas tangnnya yang bersideku di atas meja, persis seperti aku tidur di kelas waktu SMA di mata pelajaran terakhir. Aku berpikir: apa yang akan dia lakukan ketika terjaga nanti? Apa yang akan di pikirkan pertama kali waktu terbangun? (kalau aku sih tiap bangun pagi langsung mikir makan) Siapakah orang-orang yang ada di dalam mimpinya? Apakah dia cukup punya imajiniasi untuk bermimpi? Kemana dia hendak pergi?

Wajahnya tak terlihat, hanya baunya saja melekat erat di lubang hidungku, sampai kehadirannya begitu jelas aku rasakan. Begitu dekat dan nyata. Gambar, warna dan suasana siang itu di sebuah rumah tua di Wonokromo Kota Surabaya, mendadak sontak muncul di hadapanku saat melihat lelaki berbau bir di kursi taman itu. Kejadian sekitar delapan tahun lalu, saat baru saja kuselesaikan thesis S2 ku di Unibraw. Bersama beberapa kawan aktivis jalanan lainnya siang itu, seperti juga siang-siang lainnya, kami bangun jam 11 siang, bukan hari sabtu maupun minggu, sebab “hari” tidaklah berarti bagi kami para pengangguran yang menyaru jadi aktifis. Seperti biasa, perut yang dangdutan (karena keroncong udah punah) yang menonjok2 mata dari dalam untuk segera terjaga.

Tapi untuk apa terjaga? Makan. Makan apa? Tak ada uang seperserpun di saku. Setelah menggeledah seluruh isi rumah akhirnya terkupullah uang seribu dua ratus perak, untuk makan berlima, cukuplah! Apa lacur, minyak tanah mengering sebelum nasi matang, padahal cabai, tomat dan terasi belumlah di goreng. Maka terpaksa kita kumpulkan dahan kering dan membakar cabai, tomat dan terasi. Jadilah kami makan siang itu dengan menu: nasi setengah matang dan sambal terasi bakar. Enak? Tentu saja tidak! lalu sebatang rokok cap Djaja kami hisap bergantian sambil bersenda gurau menertawakan diri sendiri. Kejadian terus berulang hingga waktu bosan melihatnya.

Ketika sore menjelang, selalu saja aku merasa sedih yang teramat sangat. Jatung seperti di remas-remas, sakit sekali. Melihat hari-hari yang kosong, hambar dan tak bermakna. Masa depan: gelap! Leher bagian belakang seperti di tarik, ngilu, melihat jam yang berputar dengan sangat lambat. Kulihat sekelilingku, mereka sama saja. Bagi kami, topik tentang “masa depan” ada sesuatu yang wingit utuk dibicarakan. Bukan sedih, terkadang juga marah. Marah yang sangat hebat dan meledak-ledak! Hati penuh dengan kebencian dan dendam. Benci dengan diri sendiri, dendam pada orang-orang yang seenaknya saja buang duit seribu dua ratus perak yang bagi kami bisa dipakai makan berlima!

Ada berapa banyak pemuda-pemuda seperti ini di Indonesia? Berapa banyak yang lebih menderita lagi? Mereka yang marah dengan diri sendiri, marah dengan keadaan. Benci, dan menganggap semuanya serba tidak adil. Ketika lapar dan nanar menghadapi hari esok, di depan matanya berseliweran anak-anak papi dan mami cekikikan keluar masuk cafe, membicarakan tentang merk barang-barang. Bukan orang lain, aku sendiri pernah merasa sangat benci dengan mereka. Ingin menarik rambut mereka dan membenamkan kepala mereka di kubangan berbau anyir di sebelah dapur tempat kami memasak setiap hari. Lalu, seorang kawan lalu berkata, “bung ini bukan salah orang-perorang ini salah sistem, kebencianmu pada orang-orang kaya itu salah alamat! Kita ini miskin ya salah kita sendiri, kita perlu kerja keras bung biar bisa kaya seperti mereka!”

Terharu juga aku mendenganr kata-kata dia. Bukan karena setuju, tapi kata-katanya mengingatkanku pada kisah cintaku waktu kuliah di semester satu, ketika kami sama-sama membaca buku Koentjaraningrat yang berjudul “Mentalitiet Bangsa Indonesia”. Seperti halnya orang-orang Fungsionalis pada umumnya, Koentjoroningrat percaya bahwa semua masalah yang dihadapi itu adalah sumbernya dari faktor-faktor internal. Orang miskin karena malas bekerja, orang bodoh karena malas belajar, orang terbelakang karena tidak punya motivasi, dll. Pokoknya semua itu salah mu sendirilah! Itulah inti dari pemikir-pemikir fungsionalis. Salah satu mBah nya kaum funsionalis ini adalah Walt W. Rostow penasihat ekonomi presiden Lyndon B. Johnson yang oleh sang presiden, pak Rostow ini di hadiahi sebuah kampus tempat dia menghabskan masa tuanya kampus itu bernama LBJ School of Public Affairs University of Texas at Austin. Beberapa bulan lalu aku menghadiri pemakaman istrinya, Elspeth Rostow, yang juga mantan dean di school tersebut.

Rostow ini adalah guru dari sebuah gank ternama di Indonesia yang bernama “Mafia Berkeley” karena di ketuai oleh Sumitro Djoyohadikusumo yang jebolan UC Berkeley yang juga mnejadi arsitek ekonomi Indonesia selama 32 tahun kekuasaan Suharto. Dua prinsip dasar teori “Growth” dari orang-oang fungsionalis adalah pertama, karena Indonesia miskin adalah faktor internal, maka Indonesia butuh “big push” utk bisa maju. Big push itu sumbernya adalah utang luar negeri dan investasi asing. Karena dengan adanya ‘big push’ ini maka jumlah dan perputaran kapital yang beredar di Indonesia banyak sehingga dapat menstimulasi bangkitnya bisnis-bisnis di berbagai sektor lainnya, trickle down effect. Prinsip kedua, oleh karenanya, adalah: mendorong tumbuhnya industri skala besar. Sebab dengan masukknya uang dari luar itu (baik berupa utang maupun investasi) maka dibutuhkan pengelolaan kapital yang cepat dan massif, sehingga proses yang dikatakan Ali Murtopo sebagai akselerasi pembangunan bisa berjalan dengan cepat. Lebih detail tentang step-step yang ada di Growth Theorynya Rostow dijabarkan dengan sangat persis dan (orang jawa bilang) plek jiplek di dalam Repelita pembangunan Indonesia. Rostow dan Sumitro percaya kalau teorinya diterapkan dengan sempurna maka dalam 25 tahun Indonesia pasti akan tinggal landas. Nyatanya?

Tidak hanya setelah kegagalan kolosal ang memalukan dari teori Rostow kritik terhadapnya mulai bermunculan. Ambil contoh sejak tahun 1960-an Kwane Nkrumah, pemimpin Ghana, sudah mengatakan bahwa kemiskinan negara-negara berkembang itu bukan dari dalam, tapi dari luar. Maka sejak itulah pak Nkrumah dikenal sebagi tokoh yang mengusung konsep “neo-kolonialisme”. Dia mengatakan bahwa kemerdekaan sebuan negara hanyalah sebatas kemerdekaan otoritas formal, tetapi penguasaan ekonomi tidak. Ekonomi negara miskin masih dikendalikan oleh negara-negara semacam Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Pandangan seperti inilah lawan dari Fungsioalisme yang di sebut Strukturalisme. Di US ada tokoh besar strukturalisme ang bernama Noam Chomsky, di Jerman ada Madzhad Frankfurt (spt Adorno, Horkheimer dan yang paling top Jurgen Habermas) di Amerika Latin ada Andre Gunder Frank dan mantan preiden Brazil Fernando Henrique Cardoso. Ini nunjukin bahwa strkturalisme itu juga gak sepi pengikut. Sehingga kemudian kita mengenal istilah “Kemiskinan Struktural”yang artinya kemiskinan itu bukan salah si miskin yang ‘dicap’ malas, mereka miskin karena di miskinkan oleh struktur!

Cardoso njelasin bagaimana kemiskinan strukturalitu bekerja dengan konsepnya “Dependent Capitalism Development” (DCD) yang intinya kapitalis internasional berkolaborasi dengan kapitalis-kapitalis/borjuis-borjuis lokal untuk melakukan perdagangan. Kapitalis internasional membutuhkan para borjuis lokal karena mereka perlu operator untuk menjalankan bisnisnya di negara-negara berkembang. Kapitals internasional tidak bisa mempercayakan uangnya pada negara, karena mereka menganggapnegara terlalu rentan, ketika terjadi revolusi, pemimpin baru belum tentu sepaham dengan mereka. Tetapi para borjuis lokal ini lebih permanen, dengan menjauhkan mereka dari politik, membuat pergantian aktor di dalam sistem borjuasi lokal lebih stabil daripada pergantian aktor di level negara. Sehingga Cardoso mengatakan bahwa dampak dari DCD itu adalah fragmentasi kelas di negara berkembang (termasuk Indonesia) yang makin senjang, serta kemiskinan kelas “non-borjuis” yang semakin parah.

Pintu lain untuk menciptakan kemiskinan dari struktur adalah dengan kebijakan publik yang dibuat negara. Disparitas antar wilayah contohnya, Jawa (Jakarta) yang begitu advanced infrastrukturnya (pendidikan misalnya) di bandingkan Papua atau NTT yang begitu tertinggal, bagaimana mungkin tingkat kecerdasan rata-rata anak-anak Papua bisa sebanding dengan Jakarta? Kalau Robert Chambers pernah bilang tentang “Deprivation Trap”, maka pendidikan sebenarnya adalah sisi yang bisa memotong mata rantai kemiskinan itu. Anak tukang becak harus amat sangat luar biasa pintar sekali untuk bisa sekolah ke US, sementara anak pengusaha cukup ‘lumayan’ saja untuk bisa sekolah ke US. Sehingga mobilisasi sosial kita sangatlah rendah, orang kaya di Indonesia ya hanya dari keluarga dan marga ini dan itu saja. Selebihnya hanyalah eksepsi dan pengembira.

Banyak banget penjelasan tentang kemiskinan dan problem struktur ini, belum lagi kalau lihat penjelasan tentang SAP (structural adjustment program) dari lembaga-lembaga donor ke Indonesia. Yang intinya kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan melakukan hal-hal yang sifatnya charity dan karitatif. Bagi-bagi sembako, kasih beasiswa, apalagi bagi-bagi baju bekas. Kemiskinan harus diperbaiki melalui pembenahan struktur. Di berbagai aspek dan level! Yang punya toko ya harus mulai sadar bahwa gaji penjaga tokonya dibandingin keuntungan dia harus seimbang. Yang punya pabrik ya mikirin akses buruh ke kebijakan perusahaan. Yang punya bank ya buatlah kemudahan kredit untuk orang miskin. Yang punya sekolah ya beri kuota berimbang antara yang berduit dan yang nggak. Yang ‘punya’ negara ya alokasikan 80% dana negara untuk warga miskin. ...dll dsb.

Lha saya kan masih kuliah, apakah harus nunggu lulus dulu baru bisa melakukan itu semua? Hmmm... yah.. setidaknya mulailah membuka mata lebih lebar untuk ngeliat di sudut-sudut gelap, bau dan hina untuk bisa mengenal lebih dekat apa dan bagaimana sih yang namanya: Miskin. Nggak enak...!!!


Thanks buat mbak moderator yang udah “mengintruksikan” menulis tentang poverty...


Monday, October 13, 2008

Trip to the Roundup, Fredericksburg

Sabtu, 27 September 2008 lalu di Fredericksburg, TX ada fair tahunan untuk mempromosikan renewable energy, ramah lingkungan kalo indo nya. Walaupun kebanyakkan dari pengunjungnya itu sudah serius dengan tawaran harga atau membangun kerjasama perusahaan, ya, saya bersama dua teman datang hanya bermodal keingintahuan. Lucu juga, sepanjang rute setapak itu kami hanya bisa ber-wah noraq melihat uniknya alat2.

Banyak banget alat yang sempat kami lihat disitu, mulai dari gentong gede tanah liat untuk nampung air hujan sampai versi mininya mesin proses biofuel. Untuk sekedar info, biofuel siap pakai sekarang udah bisa di pesan online dan di ship pakai usps loh. Salah satu alat yang menarik disitu, engga jauh dari pintu masuk fair, buat kami sempet berdiri lama di stand nya. Stand itu melayani pemasangan toilet tanpa air, tanpa listrik, dan tanpa bahan kimia apapun. Menarik bukan? Kita sempet heran ketika dijelaskan cara kerjanya. Pertama, toilet itu bisa memisahkan kotoran cairan dan yang padat. Sementara yang cair ditampung didasar toilet, yang padat ditampung di tray diatasnya. Dengan mengandalkan siklus udara panas dan bakteri penghancur, akhirnya semua kotoran itu bakal mengering dengan sendirinya tanpa bekas, apalagi bau. Gitu deh singkatnya. Bagi diantara teman2 ada yang berminat memesan, silakan kontak langsung.

Disitu juga ada satu alat yang imoet, pompa fountain tenaga angin. Hampir kita pesan satu, tapi menengok harga nya, ga jadi deh. Ya maklum, teknologi ramah lingkungan masih tergolong mahal. Yang kecil aja masih ga suan, apalagi, kalo untuk teknologi nya sampai bisa menghasilkan power dengan kekuatan yang sama dengan sumber energi yang udah ada (contoh: minyak, gas, batubara). "Walaupun keuntungannya engga kita rasakan dalam waktu dekat, ini demi kebaikkan anak cucu kita juga" begitu salah satu argumen kelompok aktifis lingkungan hidup yang hadir disana. Yep, dari para kelompok aktifis itu kami juga peroleh informasi yang lom pernah kami dengar, seperti detailnya keuntungan dan kerugian pembangkit listrik tenaga nuklir. PLTN yang kabar nya bisa merubah semua senyawa radioaktif menjadi energi dengan zero waste, ternyata itu buat-buatan saja. Mereka juga jelaskan tentang ancaman rencana menambah 2 unit reaktor nuklir di Texas ini. Proyek dua reaktor yang diharapkan bisa menghasilkan total 2600 MW akan dimulai di awal tahun 2010. Mereka juga menyerukan kalo untuk konteks Texas dengan potensinya yang unik dengan dataran nya yang luas, sumber daya pertanian, dan teriknya matahari, ada beberapa energi alternatif yang bisa dipertimbangkan. Tenaga angin, matahari, dan biomass termasuk dalam pilihan mereka.

Ketika pintu keluar fair sudah keliatan, sebelum kami melihat2 freebies posters, tas belanja, dll, kami di berikan lembaran checklist berisi tips2 untuk berhemat energi. Begini beberapa isinya:

  • Pakai alat2 rumah tangga yang ada logo Energy Star nya.
  • Selalu ganti AC filters kalo udah kotor.
  • Matikan lampu dan alat2 eletronik lainnya ketika selesai pakai.
  • Mandi shower dan bukan berendam.
  • Pertimbangkan untuk pakai laptop dan bukan desktop.
  • Set ke sleep mode ketika komputer tidak dipakai.
  • Pertimbangkan untuk ganti ke lampu hemat energi (neon).
  • Pisahkan sampah botol plastik, plastik, kertas dan yang biasa.
Sekian laporan saya dan terima kasih.

Wednesday, September 24, 2008

Karya Budaya

Menjelang petang, tepat dipertengahan sebuah minggu. Ketimbang meneruskan menyelesaikan reading assignments yang segunung itu, tiba-tiba seluruh tubuhku terdorong oleh sebuah kekuatan magis yang sangat kuat untuk menuliskan beberapa baris kata tentang film Indonesia. Tentu saja, setelah secangkir kopi susu tersanding manis di sudut meja.

Seperti halnya beberapa kawan yang pernah kutanyai tentang film Indonesia hingga setahun yang lalu aku pun berpandangan sangat sinis dan penuh hardik. “Halah, film Indonesia apaan?! Paling-paling kalau nggak cinta-cintaan ya horor-horor nggak jelas..!!” Pikiran memandang-rendah terhadap film Indonesia ini telah menjadi semacam pola baku dalam otakku. Sejak dulu, sekarang dan sampai kapanpun kondisinya akan selalu seperti itu. Tidak akan berubah. Maka setiap melintasi gedung-gedung bioskop yang memutar film Indonesia selalu mataku tertumbuk pada kerumunan orang yang mengantri tiket atau menunggu pemutaran film-tersebut, dengan pikiran di benak “ah.. kasian amat orang-orang bego itu, nonton film nggak mutu”.

Hingga semester kemarin ketika aku mengambil kelas di RTF Dept (Radio, TV and Film) aku bertemu dengan beberapa kawan sekelas dan ketika mereka mendapati ku dari Indonesia mereka langsung mngapresiasi tentang perkembangan film Indonesia. Pertama aku mengira itu hanya standar basa-basi klasik-nya a la Amerika. Sampai suatu ketika ketika break di sela sesi satu dan sesi dua perkuliahan salah satu diantara mereka (Kevin namanya) bercerita kepadaku tentang fluktuasi perkembangan film Indonesia. Dia dengan sangat fasih bercerita tentang mati surinya industri film di Indonesia padatah kurun 1980an sampai 1990an, sampai pada era kebangkita film indonesia di pertengahan 1900an hingga sekarang. Dan hasilnya sekarang kita bisa membuktikan sendiri dari 4 bioskop rata-rata 2-3 diantaranya memutar film Indonesia. Bahkan film-film itu sampai di ekspor ke negara tetanga seperti Malaysia dan Singapura.

Di sini aku akan gambarin lebih detail tenang perkembangan film Indonesia. (..karena gua orang Indonesia, masak kalah sama si Kevin.. hehehe). Pada periode “mati suri” itu seluruh bisnis perfilman Indonesia 100% di topang oleh film-film import baik dari US maupun China. Sementara film Indonesia pada kurun waktu itu hanya dipenuhi oleh film-film yang mengeksploitasi seksualitas. Masuk awal era 1990an baru bermunculan film-film idealis yang di promotori oleh Eros Djarot dan Garin Nugroho. Eros Jarot sukses besar dengan film “Tjut Nya’ Dien” (1988), aku inget betul waktu nonton film itu (kalau gak salah waktu itu kelas 1 SMA) getarannya terasa hingga beberapa hari, perasaanya persis ketika aku nonton film Artificial Intelegence nya Steven Spielberg. Semetara Garin, dengan sederhana, perlahan tapi pasti meluncurkan film-film idealisnya yang “sangat tidak laku di pasaran, seperti “Cinta dalam Sepotong Roti” (1991), “Bulan Tertusuk Ilalang” (1995) dan “Daun di Atas Bantal” (1998). Untuk film yang terakhir itu aku acungi 10 jempol! Cerita tentang kehidupan riil anak jalanan. Film yang membongkar habis artifisialisme moralitas kaum menengah ke atas yang kerjaannya hanya berlindung di balik sikap “escapism”. Dan hebatnya lagi aktor2nya asli anak jalanan, dan tak lupa my favorite actrees: Cristine Hakim!

Tetapi sekali lagi masa itu belumlah memasuki masa “industrialisasi” film, masih dalam tahan “identifikasi”. Artinya, film Indonesia masih dalam tahap menunjukkan jati dirinya dan membuktikan bahwa “kami ada!”.

Barulah pada tahun 2002 perfilman Indonesia di guncang oleh gegar “Ada Apa dengan Cinta”. Cerita yang disuguhkan dalam film itu biasa-biasa saja, dan menurutku Dian Sastro dan Nicholas Saputra juga nggak cakep-cakep amat dibandingkan sederet artis dan model yang Indonesia punya. Menurutku yang membuat film ini menjadi momentum adalah tingkat keseriusan penggarapan sebuah film. Manajemen dan perencanaan marketing yang rapi, tak lupa juga kemasan yang amat cantik dengan menggandeng hits maker, Melly Goeslaw di musikalitasnya. Rudi Sudjarwo (sutradara) yang betahun-tahun tinggal di California (berpindah-pindah mulai San Diego sanpai San Fransisco) juga berperan besar dalam peletakan film ini sebagai salah satu mark dalam sejarah Indonesia.

Tonggak sejarah perfilman Indonesia kembali tercipta tahun lalu melalui film “Ayat-Ayat Cinta”. Yang membuat film ini hebat, lagi-lagi bukan cerita nya yang berbobot, mengandung filsafat macem2, dll, tapi kemmapuannya meraup pasar yang luar biasa. Total penonton film ini hampir 5 juta orang! (belum termasuk yang nonton dari VCD bajakan ya...) 3,6 juta diantaranya dari pasar domestik, sementara sisanya dari Malaysia dan Singapura. Film ini tercatat sebagai rekor film yang paling banyak di tonton dalam sejarah perfilman Indonesia. (OOT; rekor novel paling laris dalam sejarah Indonesia sekarang di pegang “Laskar Pelangi”).

Nah, itu tadi adalah film-film yang menonjol dalah sejarah perfilman Indonesia. Sekarang aku pingin mengupas satu persatu dan melakukan sedikit kategorisasi film-film yang ada di Indonesia yang patut diapresiasi. Maaf kalau kategorisasinya agak ngawur, maklum bukan mahasiswa RTF... ;)

Psikologi. “Claudia/Jasmine” film ini bercerita tentang bagaimana upaya seorang perempuan dalam berdamai dengan trauma di masa lalu, hampir sama dengan “Tentang Dia”. “3 Hari untuk Selamanya” merupakan deskripsi tentang proses pencarian jati diri dan definisi hidup bagi manusia di usia remaja. “Detik Terakhir” cerita tentang kehidupan ekstrem: lesbian plus pecandu narkoba, dan bagaimana ereka deal with masyarakat dan norma yang ‘mencampakkan’nya, pesan yang hampir sama tapi dengan kemasan yang sedikit berbeda (yang ini straight) juga tersaji dengan apik dalam film “Radit dan Jani”. Film “I love you Om” konon diangkat dari kisah nyata seorang anak perempuan SD yang jatuh cinta dengan lelaki usia 30 an (ck..ck..ck..!). terakhir dalam kategori ini yang paling huebat adalah “Ekskul” nggakperlu aku komentari,tonton aja sendiri, film yang benar2 mengguncang jiwa raga!

Humor. Akhir-akhir ini bermunculna film-film humor yang berbau sex (tetapi nggak eksploitatif, cukup diskursif) terutama film2 yang dibintangi Tora Sudiro, seperti “Quickie Express” atau “Namaku Dick”. Ada banyak judul-judul lain sih... lumayan lucu dan menghibur. Film-film humor dengan gaya joke yang ‘aneh’ dan ‘inovatif’ dapat di temui di “Kwaliteit 2”, “Maskot” dan “D’Girlz Begins”. Film yang lucu abis dan gaya joke yang “Indonesia banget ada di “Jomblo”, “Mendadak Dangdut”, “Maaf Saya Menghamili Istri Anda”dan “Get Married”.

Horor/Thriller/Adventure. Aku nggak banyak nonton sih, tapi yang sepat membuat hatiku tergerak untuk menonton itu: “Jaelangkung”, dan “Kuntilanak” karena di sebut-sebut sebagai film horor yang penggarapannya cukup serius. Tapi satu film genre horor yang menurutku ciamik itu “Kala”. Untuk film thriller dan adventure yang cukup bagus itu ada “Tragedy” dan “Ekspedisi Madewa”.

Cinta. Nah kategori ini nih yang paling sering dapet cemoohan. Padahal kalau menurutku sih “Apa Yang Salah Dengan Cinta”??!!. Seremeh temeh apapun padnangan kalian tentang film-film cinta, yang jelas setiap abis nonton film-film ini perasaanku menjadi betambah cinta pada istriku. Dan aku menjadi semakin benci bila melihat ada laki-laki atau perempuan yang menyia-nyiakan cinta mereka punya. Cinta itu indaaaahhh banget...! film-film ini juga yang membuat aku berpikir bahwa (karena aku cowok) bahwa semua perempuan harus mendapatkan tempat yang paling istimewa dihati pasangannya. Adapau film-film yang meneduhkan itu adalah: “Ruang”, “Love”, “Brownies”, “Heart”, “Mengejar Mas-mas”, “Butterfly” dan “Selamanya”.

Anak/Keluarga. “Denias: Senandung di Atas Awan” aku kira udah pada banyak yang nonton ya... nah sebenarnya ada banyak film-film lainnya yang sama hebatnya dengan film itu, seperti “Petualangan Sherina”, “Ariel dan Raja dari Langit”, dan yang paling aku suka plus sangat kena’ banget itu film yang judulnya “Untuk Rena”, cerita tentang hubungan papa dengan anak perempuannya...daleeemm banget.

Sosial-Politik/Gender. Nah, makin kesini makin serius nih genrenya, makanya salah itu kalau ada yang bilang film Indonesia isinya cuman “Cinta” dan “Horor” aja. Justru daftar film di genre ini cukup panjang. Yang paling hebat menurutku “Gie” kisah tentang aktifis angkatan ’66 bernama Soe Hok Gie, yang merupakan kakak kandung intelektual terbaik Indonesia saat ini Arif Budiman yang merupakan jebolan Cornell Univeristy dan sekarang jadi dosen tetap di Melbourne Univ. film-film tentang kehidupan masyarakat miskin dibuat dengan sangat apik dan ‘jujur’, seperti “Daun di Atas Bantal”, “Kun Fayakun”, “9 Naga”, “Mengejar Matahari”, “Rindu Kami Pada-Mu” dan “Wo Ai Ni”. Yang terakhir adalah cerita tentang kehidupan masyarakat miskin keturunan Cina di Singkawang. Film lain tentang warga keturunan ada juga di “Ca Bau Kan”. Secara khusus tentang tragedy 1998 ada di “Novel Tanpa huruf R”. Ada juga film tentang Amrozi dkk berjudul “Long Road to Heaven”. Film yang cukup fenomenal dala kategori ini adalah “Arisan!”. Hermawan Kertajaya, salah seorang pakar Marketing Indonesia sampai secara khusus mengudang penulisnya, Nia Dinata, untuk bicara di depan ratusan pengusaha Indonesia tentang kecerdasanya dan kejeliannya mngungkap budaya pop masyarakat (konsumen) Indonesia saat ini. ada dua fil bertema kesetaraan gender yang rapi sekali penggarapannya, yaitu “Berbagi Suami”, film senada dengan warna yang berbeda adalah “Sebening Hati Wanita”.

Filsafat/Budaya. Nah lo, ternyata film Indonesia ada yang bertema filsafat juga! Coba aja lihat film seperti “Pasir Berbisik”, (sekali lagi) “Novel Tanpa Huruf R”, “Telegram”, “Betina” dan “Mereka Bilang Saya Monyet” film-film tersebut buat ku harus ku tontotn berkali-kali untuk mengerti maknanya dan meresapi pesannya. Ada yang sampai sekarang pun aku masih nggak ngerti apa maksudnya, mungin karena filmnya terlalu filosofis sampai-sampai IQ ku yang a la kadarnya ini gak nyampe mencernanya.

Nah... kalau Rudi Sudjarwo enam tahun di US pulang-pulang langsung buat sejarah besar di perfilman Indonesia (yang nggak copy-paste US pastinya!), lah... aku ntar pulang buat sejarah apaan ya...????

Fadil

Saturday, September 20, 2008

Hak Hidup Manusia

Banyak orang mungkin tidak mengerti arti hak hidup secara frase. Untuk itu, saya akan memberikan satu contoh. Seorang pengemis yang setiap hari perlu bekerja secara minta-minta hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mempunyai hak hidup yang sangat terbatas dibandingkan dengan pelajar-pelajar rata-rata yang berada di luar negeri. Apakah artinya itu? Apakah dengan status kita yang berada di luar negeri artinya kita mempunyai status ekonomi yang memadai? Itu bukanlah maksudnya. Hak hidup bukan menyanggung kepemilikan seseorang, kemampuan fisik seseorang, ataupun kepintaran seseorang.

Hak hidup yang lebih dikenal orang-orang di negara maju adalah hak untuk seorang bayi yang belum lahir untuk hidup. Pendirian ini bertentangan dengan aborsi karena menurut kaum-kaum penyandang hak kehidupan, manusia yang berada di dalam kandungan ibu termasuk sebagai bayi. Tapi dalam kasus Indonesia, masalah hak hidup telah kembali ke awal lagi, dimana hak hidup seseorang ditindas oleh karena orang lain maupun elit politik yang tidak mengasihani kondisi mereka.

Basis hak hidup yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kebolehan seseorang untuk menyandang kehidupan yang sesuai dengan dirinya sendiri dan bisa membangun karakter-karakter yang unik pada seseorang. Dengan basis itu, kita bisa mengakatan bahwa keperluan seorang pengemis, yaitu untuk mendapat makanan, tidak membolehkan dia hidup dengan menggunakan kelebihan-kelebihan yang dikuasainya. Mungkin saja pengemis itu mempunyai bakat memancing, tetapi karena dia berada di Jakarta, yang sungai-sungainya penuh dengan limbah, pengemis itu tidak bisa memakai bakat memancing itu dalam mencari nafkah.
Begitu juga orang-orang yang lahir dengan cacat. Banyak sekali kasus-kasus dimana orang-orang cacat didiskriminasi dengan berbagai cara. Salah satu contoh adalah tidak diberikan kerjaan. Mereka dipaksa keluar ke jalan dengan upaya untuk hidup sehari demi sehari. Mereka mungkin seorang yang pintar dan cekatan, tetapi lowongan kerja bagi mereka sudah ditutup dari awal ketika para majikan mengetahui bahwa mereka orang cacat. Hukum-hukum yang didirikan pemerintah pun tidak membantu karena tidak ada yang mengamati apakah hukum-hukum tersebut dipatuhi.

Bahkan banyak dari orang-orang minoritas di Indonesia mengalami diskriminasi pada jaman orde baru yang beberapa diteruskan hingga masa kini. Orang-orang Indonesia yang bukan asal kelahiran dari jawa maupun pribumi tidak diperbolehkan untuk masuk kedalam pemerintahan atau militer. Meskipun kepala-kepala daerah atau gubernur-gubernur propinsi di luar jawa dipegang oleh orang-orang di daerah masing-masing, pusat kekuatan tetap berasal dari Jakarta, yang dipegang di bawah kaum-kaum elit. Walaupun kasus seperti ini tidak menunjukkan urgensi dibanding kasus yang diatas, ini adalah satu contoh yang tidak memberikan kita ruang untuk menjelajahi bakat-bakat kita.

Karena apakah kita perlu memajukan hak hidup orang-orang tersebut? Dalam kehidupan yang telah banyak dimasuki ide-ide darwinisme, manusia yang kuat layaknya naik ke posisi-posisi atas dibanding manusia yang lemah. Alasan sederhananya adalah “survival of the fittest.” Jadi, orang-orang yang tidak mampu menaiki standar hidupnya akan tertinggal di bawah tangga evolusi sosial masyarakat. Sebaliknya, mereka yang telah naik ke puncak tangga tersebut akan merasa bahwa dirinya sudah diluar dari hukum karena mereka mengontrol sekian banyak kuasa. Jadi sudah sepatutnya kita, yang rata-rata bukan dalam kalangan kelas-kelas elit, meninggalkan mereka yang tertindas karena dalam definisi tersebut kita jugalah orang-orang yang tertindas. Untuk apa membantu orang-orang lain jikalau kita sendiri belom bisa membantu diri kita sendiri?

Sebagai seorang Indonesia, kita mempunyai kewajiban untuk membantu Negara kita sendiri. Kita dapat menganggap bahwa kita adalah orang-orang yang lebih maju daripada banyak dari orang-orang yang di Indonesia. Kemajuan ini adalah salah satu basis dari jawaban mengapa kita perlu membantu kaum-kaum yang tertindas ini. Pada jaman dahulu dunia kuno mengakui adanya perbudakan. Budak-budak dapat dijual-belikan seperti layaknya makanan di pasar. Tetapi di Abad Pencerahan (Age of Enlightenment), dunia barat mengakhiri perbudakan secara total. Meskipun begitu, tetap ada beberapa negara yang masih mempraktekkan perbudakan, hanya untuk dihapuskan beberapa dekade kemudian.

Bayangkan jikalau orang-orang yang mempunyai kesempatan untuk mengakhiri perbudakan tidak berbuat apa-apa. Sampai sekarang mungkin saja tetap ada perbudakan yang sangat luas. Tetapi itu tidak terjadi, karena mereka menyadari bahwa mereka yang berpikir lebih maju harus mendorong orang-orang di sekitarnya supaya ikut maju bersama mereka. Banyak manusia lebih menyukai kondisi “status quo” karena sangat gampang bagi seseorang untuk tidak melakukan apa-apa yang menyusahkan dirinya dan menerima suatu keadaan sebagai kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.

Perbedaannya dengan masa kini adalah ketidakberadaannya hukum-hukum yang melindungi hak seseorang manusia secara umum. Hukum bahkan didirikan bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk mematahkan semangat rakyat untuk melawan kepemerintahan yang pada jaman itu merupakan feodalisme atau monarki. Oleh karena itu bukanlah soal mudah untuk para pionir tersebut untuk mencoba mendirikan hukum-hukum yang melindungi rakyat-rakyat tanpa mengurangi kuasa absolut yang dimiliki para penguasa. Kadang dengan susah payah, mereka harus menerima hukuman berat karena disangsi sebagai penghianat. Tetapi, akhirnya mereka berhasil melewati berbagai rintangan untuk mendirikan hukum-hukum yang melindungi rakyat.
Kita sebagai penghuni masa kini telah diberikan segala hak untuk menegakkan hukum yang telah diciptakan. Dan kita telah diberikan pengetahuan yang lebih dari cukup untuk menguraikan mana tindakan yang benar dan mana yang salah. Jadi tidak ada alasan mengapa kita tidak melakukan itu sebagai hal yang benar. Tetapi, sesuai dengan sifat manusia, kita malas untuk menerjunkan diri ke dalam hal-hal yang dinilai tidak berguna bagi kita. Alasannya banyak. Tidak semua salah. Hanya alasan itu dipakai bukan karena tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, tetapi untuk tidak melakukannya. Dengan basis yang sudah diberikan di paragraf ketiga, kita tidak bisa menutup satu mata terhadap kejadian seperti ini. Satu alasan adalah kasus-kasus ini akan terus berjalan sepanjang tidak ada orang yang mencoba menghentikannya. Jikalau semua orang yahudi di Jerman dan Polandia pada masa Kerajaan Ketiga (Third Reich) sudah dibasmi, maka kemungkinan ada orang-orang suku lain atau beragama lain yang ditarget oleh pasukan-pasukan Gestapo. Oleh karena itu, kita perlu menghentikan kejadian seperti ini sebelum mereka tidak terkontrol.

Jikalau kita merasa tertindas oleh orang-orang lain, itu karena kita sendiri sudah mengerti apa arti hak hidup manusia. Secara umum, banyak dari masyarakat yang masih tidak mengerti mengapa mereka hidup seperti ini meskipun mereka tidak bertanya tentang situasi mereka. Lama-lama, mereka akan hidup dengan menerima semua ini karena mereka anggap ini adalah suatu kenyataan yang tidak akan berubah bagi mereka. Sedikit demi sedikit, mereka kehilangan harapan. Jikalau hal ini terjadi, keberadaan mereka sebagai manusia sudah tidak berarti. Harapan adalah satu-satunya perbedaan antara manusia dan binatang. Harapan hanyalah satu-satunya hal yang membuat orang-orang yang tertindas dan berada dalam keadaan susah untuk menjalani hidupnya; dengan harapan bahwa hari esok akan membawa kondisi yang lebih baik.

Kita dapat membawa harapan kepada masyarakat di sekitar dan juga diri kita sendiri dengan cara menjelaskan kepada orang-orang tentang pentingnya menegakkan hak hidup manusia yang telah diporak-porandakan oleh elit-elit politik. Memang tidak akan mudah, karena para elit politik akan mecoba untuk membatas aksi-aksi seperti ini demi melindungi kuasa mereka. Akan tetapi, siapa lagi yang dapat melindungi hak-hak rakyat Indonesia? Negara-negara asing hanya bisa memberikan tekanan kepada pemerintah, layaknya mereka terhadap Iran, atau Korea Utara, tanpa menyerang dan memaksakan ideologi mereka terhadap negara-negara tersebut.

Ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang Indonesia untuk melaksanakan tugas yang penting ini. Jikalau kita menyatakan bahwa kita adalah orang Indonesia, kita telah diberikan kesempatan untuk membawa Negara kita tercinta ini ke dalam mata dunia. Kita dapat membuktikan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara yang miskin atau lemah dalam pendidikan, tetapi negara yang peduli atas rakyatnya dan mengembangkan potensial masyarakat untuk memajukan negara kita sendiri.

Jeffrey Tanudji

Wednesday, September 17, 2008

FAQ: Studi di Austin

Ini menjawab e-mail yang masuk untuk KopiSusu...

1. Untuk kuliah ambil bachelor degree di UT Austin berapa lama normal kuliahnya ?

Vidia: Biasanya untuk jangka waktu yang normal (tidak ngaret dan tidak juga jenius) dibutuhkan 4 tahun. Jangka waktu 4 tahun ini juga yang kebanyakan diprediksi oleh departmen-departmen di UT karena mereka memberikan "suggested course to take for every semester" dan menyusunnya untuk dapat diselesaikan dalam 4 tahun. Nah, itu kalau kita langsung masuk ke UT dan normal-normal saja.

Kalau masuk ke UT dan mau menghemat waktu, kita bisa mengambil yang namanya Advanced Placement untuk beberapa pelajaran. Biasanya ini untuk pelajaran2 dasar. Kalau kita lulus Advanced Placementnya dengan nilai OK, kita bisa dibebaskan dari mengambil pelajaran dasar tersebut. Jadi mungkin bisa menghemat sekitar 1 semester.

Kalau tidak mau masuk UT dulu, anak2 seringnya masuk ke community college (Austin Community College atau bisa di CC mana pun). Di sana, normalnya kita akan belajar untuk 3 sampai 4 semester, karena untuk transfer ke UT Austin, si pelajar membutuhkan setidaknya 30 credit. Setelah transfer, untuk lulus kira2 akan memakan waktu 2 tahun lagi, jadi kalau ditotal jumlahnya tetap sekitar 4 tahun.

2. Berapa uang kuliah per thn ?

Lisa: Biaya kuliahnya tergantung jurusan, tapi buat international students itu sekitar $14-15ribu

3. Berapa biaya hidup per bulan (utk sewa asrama, makan, beli buku, refreshing dgn gaya hidup yg sedang/sederhana)?

Lisa: Tempat tinggal: Kalo tinggal di dorm UT kalo ngga salah per taun (2 semester panjang) sekitar $7000. Sedangkan kalo pilih tinggal off-campus, biaya apartment itu antara $600-1200, tergantung jumlah kamar/kamar mandi dan lokasi apartmentnya.

Buku: Minimal $200, bisa bervariasi tergantung beli dimana. Biasanya beli online di website2 seperti Amazon.com atau Half.com bisa jauh lebi murah, atau juga bisa beli di website seperti www.TEXbooks.com. Di website itu kita beli langsung dari orang yang perna ambil kelasnya dulu, jadi harganya sering bisa miring banget. Disaranin jangan beli langsung di bookstorenya UT (namanya University Co-op), mereka kasi harga sering terlalu mahal.

Gede: hidup sebulan: $400 utk apt sebulan, $300 untuk makan sebulan, $200 - 500 untuk buku per semester, $100 - 300 untuk refreshment (depending on what you want to do) sebulan

4. Apa yang harus disiapkan sebelum berangkat kesana, test bahasa inggris , dan test lainnya dilakukan dimana ?


Lisa: Biasanya yang diperluin adalah score dari TOEFL dan SAT. Tergantung mao apply dimana. TOEFL itu yang uda pasti dibutuhin. Kalo SAT, ada beberapa universitas ngga perlu, juga kalo apply ke community college. Info tentang TOEFL bisa diliat di www.ets.org dan SAT di www.collegeboard.org. Selain itu harus apply student VISA di US Embassy. Ini bisa dilakuin kalo uda diterima sama universitasnya dan universitas itu ngeluarin dokumen imigrasi namanya I-20. Itu dokumen bukti kalo kita di US untuk belajar, bukan buat cari kerja ato tinggal di US.

Gede: Test bahasa inggris, SAT test dan visa untuk sekolah adalah tiga hal penting yang harus dilakukan sebelum ke Amerika.

5. Apakah sebaiknya ikut/masuk ke college dulu ( supaya murah), or langsung saja dan ikut pre-university (berapa lama ikut pre-university)

Lisa: Mungkin yang dimaksud sistem kaya di Australia ya? Di sini sistemnya ngga kaya gitu, kita ada namanya community college. BIasanya 3-4 semester di situ dan transfer ke universitas. College/university itu pilihan sih, dan tergantung budget juga. Klo memang siap untuk budget tinggi, klo bisa masuk ke university langsung lebi bagus.

6. Apakah ada bantuan untuk biaya kuliah ?

Lisa: Di UT sendiri jarang ada bantuan buat international students, bahkan beasiswa juga jarang. Yang biasa anak2 Indo lakukan adalah kerja 20 jam per minggu soalnya bisa qualify buat bayar in-state tuition (bisa 1/3 dari biaya international students)

Vidia: Untuk International student sebenarnya tidak banyak bantuan kuliah untuk Bachelor's Degree. Kalau Master's/Phd, itu lain lagi ceritanya karena lebih banyak scholarship, grant, fellowship, dll.

Nah, tapi ada beberapa cara untuk meringankan tuition fee. Kalau di UT, ada yang namanya "in-state tuition fee" yang bisa didapatkan oleh pelajar internasional dengan cara bekerja di kampus sebanyak 20 jam/minggu. Perkerjaan yang dilakukan biasanya harus berhubungan dengan jurusan yang diambil, tapi ada beberapa yang tetap memberi meskipun tidak terlalu berhubungan. Jenis perkerjaannya bisa research assistant, grader, menjaga computer lab, dll. Kalau mendapat pekerjaan ini, tuition fee kita dipotong, dan kita boleh membayar jumlah yang baisanya dibayar oleh Texas resident. Kira2 untuk international student di UT, 1 semester bisa 12000-13000. Sementara in-state tuition fee ini hanya 5000-an.

Cara kedua untuk mendapatkan in-state tuition fee adalah apabila kita memperoleh beasiswa yang berafiliasi dengan UT. Artinya, beasiswa itu diberikan oleh perusahaan2/organisasi2 ke UT, untuk disalurkan oleh UT ke pelajar2nya. Beasiswa yang didapat harus setidaknya $1000/tahun. Nah, kalau kita dapat itu, untuk setahun itu kita diijinkan untuk membayar sebesar in-state tuition fee.

Cara ketiga adalah mendaftar untuk financial aid melalui international office di UT. Applikasinya biasa dibuka per semester, dan kalau lolos kualifikasi mereka, tuition fee kita bisa dipotong sekitar 2000-an.

7. Apakah setelah lulus boleh langsung kerja di amerika, tidak pulang ke Indonesia ?

Gede: Tergantung major anda,kalau Science, Technology, Engineering, atau Mathematics, anda bisa bekerja dengan Optional Practical Training up to 29 months. Kalau major anda business, dll, Optional Practical Training anda hanya 12 months. If you dont get your F visa by then, then you do have to go back to Indonesia.

Vidia: Setelah lulus, kita diperbolehkan untuk kerja di Amerika selama 1-2 tahun dengan memakai OPT (Optional Practical Training). Dijangka waktu itu, bagi yang masih mau menetap di US, sangat diharapkan untuk mendapat visa H1 yang disponsori oleh perusahaan di mana dia bekerja. Dengan visa H1 ini, kita bisa terus bekerja di US untuk beberapa tahun. Tapi kalau tidak mendapat H1 visa, setelah masa OPT habis, kita harus kembali ke Indonesia, atau melanjutkan studi sehingga tetap menjadi penghuni legal di US dengan memakai Visa F1.
Setelah lulus, kita diperbolehkan untuk kerja di Amerika selama 1-2 tahun dengan memakai OPT (Optional Practical Training). Dijangka waktu itu, bagi yang masih mau menetap di US, sangat diharapkan untuk mendapat visa H1 yang disponsori oleh perusahaan di mana dia bekerja. Dengan visa H1 ini, kita bisa terus bekerja di US untuk beberapa tahun. Tapi kalau tidak mendapat H1 visa, setelah masa OPT habis, kita harus kembali ke Indonesia, atau melanjutkan studi sehingga tetap menjadi penghuni legal di US dengan memakai Visa F1.

Semoga berguna deh!

Lisa, Vidia, Gede