Wednesday, October 15, 2008

Soliloquy (Blog Action Day 2008: Poverty)



Oleh: Fadillah Putra

Tepat seminggu lalu aku berjalan menyusuri town lake dengan niat jahat memamerkan dan menyombongkan keindahan Austin pada kawan-kawan dari New Orleans. Sore itu, setelah berjalan beberapa depa, kulihat ada selimut tergelar di semak belukar, sebuah back pack, dan dua botol bir terserak. Tak ada orang di “rumah” itu, tapi setelahnya, ketimbang memanjakan mata dengan melihat tanaman, air dan manusia-manusia indah, aku malah jadi tertarik untuk mengobservasikan mataku pada sudut-sudut gelap, kusam dan hina.

Hingga kulihat di sebuah meja taman seorang lelaki dengan bau bir bercampur keringat yang sangat menyengat, tertidur pulas. Kepalanya di taruh di atas tangnnya yang bersideku di atas meja, persis seperti aku tidur di kelas waktu SMA di mata pelajaran terakhir. Aku berpikir: apa yang akan dia lakukan ketika terjaga nanti? Apa yang akan di pikirkan pertama kali waktu terbangun? (kalau aku sih tiap bangun pagi langsung mikir makan) Siapakah orang-orang yang ada di dalam mimpinya? Apakah dia cukup punya imajiniasi untuk bermimpi? Kemana dia hendak pergi?

Wajahnya tak terlihat, hanya baunya saja melekat erat di lubang hidungku, sampai kehadirannya begitu jelas aku rasakan. Begitu dekat dan nyata. Gambar, warna dan suasana siang itu di sebuah rumah tua di Wonokromo Kota Surabaya, mendadak sontak muncul di hadapanku saat melihat lelaki berbau bir di kursi taman itu. Kejadian sekitar delapan tahun lalu, saat baru saja kuselesaikan thesis S2 ku di Unibraw. Bersama beberapa kawan aktivis jalanan lainnya siang itu, seperti juga siang-siang lainnya, kami bangun jam 11 siang, bukan hari sabtu maupun minggu, sebab “hari” tidaklah berarti bagi kami para pengangguran yang menyaru jadi aktifis. Seperti biasa, perut yang dangdutan (karena keroncong udah punah) yang menonjok2 mata dari dalam untuk segera terjaga.

Tapi untuk apa terjaga? Makan. Makan apa? Tak ada uang seperserpun di saku. Setelah menggeledah seluruh isi rumah akhirnya terkupullah uang seribu dua ratus perak, untuk makan berlima, cukuplah! Apa lacur, minyak tanah mengering sebelum nasi matang, padahal cabai, tomat dan terasi belumlah di goreng. Maka terpaksa kita kumpulkan dahan kering dan membakar cabai, tomat dan terasi. Jadilah kami makan siang itu dengan menu: nasi setengah matang dan sambal terasi bakar. Enak? Tentu saja tidak! lalu sebatang rokok cap Djaja kami hisap bergantian sambil bersenda gurau menertawakan diri sendiri. Kejadian terus berulang hingga waktu bosan melihatnya.

Ketika sore menjelang, selalu saja aku merasa sedih yang teramat sangat. Jatung seperti di remas-remas, sakit sekali. Melihat hari-hari yang kosong, hambar dan tak bermakna. Masa depan: gelap! Leher bagian belakang seperti di tarik, ngilu, melihat jam yang berputar dengan sangat lambat. Kulihat sekelilingku, mereka sama saja. Bagi kami, topik tentang “masa depan” ada sesuatu yang wingit utuk dibicarakan. Bukan sedih, terkadang juga marah. Marah yang sangat hebat dan meledak-ledak! Hati penuh dengan kebencian dan dendam. Benci dengan diri sendiri, dendam pada orang-orang yang seenaknya saja buang duit seribu dua ratus perak yang bagi kami bisa dipakai makan berlima!

Ada berapa banyak pemuda-pemuda seperti ini di Indonesia? Berapa banyak yang lebih menderita lagi? Mereka yang marah dengan diri sendiri, marah dengan keadaan. Benci, dan menganggap semuanya serba tidak adil. Ketika lapar dan nanar menghadapi hari esok, di depan matanya berseliweran anak-anak papi dan mami cekikikan keluar masuk cafe, membicarakan tentang merk barang-barang. Bukan orang lain, aku sendiri pernah merasa sangat benci dengan mereka. Ingin menarik rambut mereka dan membenamkan kepala mereka di kubangan berbau anyir di sebelah dapur tempat kami memasak setiap hari. Lalu, seorang kawan lalu berkata, “bung ini bukan salah orang-perorang ini salah sistem, kebencianmu pada orang-orang kaya itu salah alamat! Kita ini miskin ya salah kita sendiri, kita perlu kerja keras bung biar bisa kaya seperti mereka!”

Terharu juga aku mendenganr kata-kata dia. Bukan karena setuju, tapi kata-katanya mengingatkanku pada kisah cintaku waktu kuliah di semester satu, ketika kami sama-sama membaca buku Koentjaraningrat yang berjudul “Mentalitiet Bangsa Indonesia”. Seperti halnya orang-orang Fungsionalis pada umumnya, Koentjoroningrat percaya bahwa semua masalah yang dihadapi itu adalah sumbernya dari faktor-faktor internal. Orang miskin karena malas bekerja, orang bodoh karena malas belajar, orang terbelakang karena tidak punya motivasi, dll. Pokoknya semua itu salah mu sendirilah! Itulah inti dari pemikir-pemikir fungsionalis. Salah satu mBah nya kaum funsionalis ini adalah Walt W. Rostow penasihat ekonomi presiden Lyndon B. Johnson yang oleh sang presiden, pak Rostow ini di hadiahi sebuah kampus tempat dia menghabskan masa tuanya kampus itu bernama LBJ School of Public Affairs University of Texas at Austin. Beberapa bulan lalu aku menghadiri pemakaman istrinya, Elspeth Rostow, yang juga mantan dean di school tersebut.

Rostow ini adalah guru dari sebuah gank ternama di Indonesia yang bernama “Mafia Berkeley” karena di ketuai oleh Sumitro Djoyohadikusumo yang jebolan UC Berkeley yang juga mnejadi arsitek ekonomi Indonesia selama 32 tahun kekuasaan Suharto. Dua prinsip dasar teori “Growth” dari orang-oang fungsionalis adalah pertama, karena Indonesia miskin adalah faktor internal, maka Indonesia butuh “big push” utk bisa maju. Big push itu sumbernya adalah utang luar negeri dan investasi asing. Karena dengan adanya ‘big push’ ini maka jumlah dan perputaran kapital yang beredar di Indonesia banyak sehingga dapat menstimulasi bangkitnya bisnis-bisnis di berbagai sektor lainnya, trickle down effect. Prinsip kedua, oleh karenanya, adalah: mendorong tumbuhnya industri skala besar. Sebab dengan masukknya uang dari luar itu (baik berupa utang maupun investasi) maka dibutuhkan pengelolaan kapital yang cepat dan massif, sehingga proses yang dikatakan Ali Murtopo sebagai akselerasi pembangunan bisa berjalan dengan cepat. Lebih detail tentang step-step yang ada di Growth Theorynya Rostow dijabarkan dengan sangat persis dan (orang jawa bilang) plek jiplek di dalam Repelita pembangunan Indonesia. Rostow dan Sumitro percaya kalau teorinya diterapkan dengan sempurna maka dalam 25 tahun Indonesia pasti akan tinggal landas. Nyatanya?

Tidak hanya setelah kegagalan kolosal ang memalukan dari teori Rostow kritik terhadapnya mulai bermunculan. Ambil contoh sejak tahun 1960-an Kwane Nkrumah, pemimpin Ghana, sudah mengatakan bahwa kemiskinan negara-negara berkembang itu bukan dari dalam, tapi dari luar. Maka sejak itulah pak Nkrumah dikenal sebagi tokoh yang mengusung konsep “neo-kolonialisme”. Dia mengatakan bahwa kemerdekaan sebuan negara hanyalah sebatas kemerdekaan otoritas formal, tetapi penguasaan ekonomi tidak. Ekonomi negara miskin masih dikendalikan oleh negara-negara semacam Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Pandangan seperti inilah lawan dari Fungsioalisme yang di sebut Strukturalisme. Di US ada tokoh besar strukturalisme ang bernama Noam Chomsky, di Jerman ada Madzhad Frankfurt (spt Adorno, Horkheimer dan yang paling top Jurgen Habermas) di Amerika Latin ada Andre Gunder Frank dan mantan preiden Brazil Fernando Henrique Cardoso. Ini nunjukin bahwa strkturalisme itu juga gak sepi pengikut. Sehingga kemudian kita mengenal istilah “Kemiskinan Struktural”yang artinya kemiskinan itu bukan salah si miskin yang ‘dicap’ malas, mereka miskin karena di miskinkan oleh struktur!

Cardoso njelasin bagaimana kemiskinan strukturalitu bekerja dengan konsepnya “Dependent Capitalism Development” (DCD) yang intinya kapitalis internasional berkolaborasi dengan kapitalis-kapitalis/borjuis-borjuis lokal untuk melakukan perdagangan. Kapitalis internasional membutuhkan para borjuis lokal karena mereka perlu operator untuk menjalankan bisnisnya di negara-negara berkembang. Kapitals internasional tidak bisa mempercayakan uangnya pada negara, karena mereka menganggapnegara terlalu rentan, ketika terjadi revolusi, pemimpin baru belum tentu sepaham dengan mereka. Tetapi para borjuis lokal ini lebih permanen, dengan menjauhkan mereka dari politik, membuat pergantian aktor di dalam sistem borjuasi lokal lebih stabil daripada pergantian aktor di level negara. Sehingga Cardoso mengatakan bahwa dampak dari DCD itu adalah fragmentasi kelas di negara berkembang (termasuk Indonesia) yang makin senjang, serta kemiskinan kelas “non-borjuis” yang semakin parah.

Pintu lain untuk menciptakan kemiskinan dari struktur adalah dengan kebijakan publik yang dibuat negara. Disparitas antar wilayah contohnya, Jawa (Jakarta) yang begitu advanced infrastrukturnya (pendidikan misalnya) di bandingkan Papua atau NTT yang begitu tertinggal, bagaimana mungkin tingkat kecerdasan rata-rata anak-anak Papua bisa sebanding dengan Jakarta? Kalau Robert Chambers pernah bilang tentang “Deprivation Trap”, maka pendidikan sebenarnya adalah sisi yang bisa memotong mata rantai kemiskinan itu. Anak tukang becak harus amat sangat luar biasa pintar sekali untuk bisa sekolah ke US, sementara anak pengusaha cukup ‘lumayan’ saja untuk bisa sekolah ke US. Sehingga mobilisasi sosial kita sangatlah rendah, orang kaya di Indonesia ya hanya dari keluarga dan marga ini dan itu saja. Selebihnya hanyalah eksepsi dan pengembira.

Banyak banget penjelasan tentang kemiskinan dan problem struktur ini, belum lagi kalau lihat penjelasan tentang SAP (structural adjustment program) dari lembaga-lembaga donor ke Indonesia. Yang intinya kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan melakukan hal-hal yang sifatnya charity dan karitatif. Bagi-bagi sembako, kasih beasiswa, apalagi bagi-bagi baju bekas. Kemiskinan harus diperbaiki melalui pembenahan struktur. Di berbagai aspek dan level! Yang punya toko ya harus mulai sadar bahwa gaji penjaga tokonya dibandingin keuntungan dia harus seimbang. Yang punya pabrik ya mikirin akses buruh ke kebijakan perusahaan. Yang punya bank ya buatlah kemudahan kredit untuk orang miskin. Yang punya sekolah ya beri kuota berimbang antara yang berduit dan yang nggak. Yang ‘punya’ negara ya alokasikan 80% dana negara untuk warga miskin. ...dll dsb.

Lha saya kan masih kuliah, apakah harus nunggu lulus dulu baru bisa melakukan itu semua? Hmmm... yah.. setidaknya mulailah membuka mata lebih lebar untuk ngeliat di sudut-sudut gelap, bau dan hina untuk bisa mengenal lebih dekat apa dan bagaimana sih yang namanya: Miskin. Nggak enak...!!!


Thanks buat mbak moderator yang udah “mengintruksikan” menulis tentang poverty...


0 comments: