Thursday, April 2, 2009

OBSESI - I know I am an Indonesian... Then what?

Apa yang terbayang kalo kita mendengar kata obsesi? posesif dan kompulsif kah? Kalau definisi saya pribdari, terobsesi itu keadaan sampai titik membuat diri gelisah karena perasaan aneh akan sesuatu hal. Karena perasaan itu biasanya engga diingini, maunya dibuang dan dihindari... tapi susah sekali. Selalu "HAVE TO" yang selalu ada dipikiran, tanggung jawab yang tidak bisa tidak dilakuin sendiri, yang kalo diserahkan ke orang lain seperti bakal sesuatu terjadi. Ya mau ga mau deh untuk ngelakuin juga pada akhirnya. Apa teman-teman pernah merasakan hal seperti ini. Hmm... bagaimana kalo obsesi itu akan sesuatu yang baik, obsesi yang diingini. Obsesi yang membangun? akan sesuatu yang mempunyai dampak luar biasa bagi orang banyak.

Bertempat di ECJ ruangan 1.204, sudah tiga kali diruangan ini diadakan acara yang cukup menarik. Obrolan Sore-sore Seputar Indonesia, atau pendeknya, OBSESI. Dengan topik-topik yang berhubungan, panitia sudah memulai dengan yang pertama tentang Pemilu, dilanjutkan tentang identitas Indonesia dan yang terakhir, di hari Sabtu kemarin, berjudul "I know I am an Indonesian... Then what?"

Dihadiri oleh teman-teman kita sendiri sebagai narasumber dengan ceritanya masing-masing, mewakili sekali dalam pemahaman dan perjalanannya sebagai orang Indonesia. Dengan total enam narasumber, OBSESI kali ini dibagi menjadi dua sesi yang setiapnya bakal dihadiri tiga narasumber dan sesi tanya jawab engga lama setelahnya.

Untuk sesi pertama, Yosua dari Permias college station mewakili orang Indonesia yang berorganisasi di Amerika Serikat. Diceritanya, Yosua bilang tentang majemuknya masyarakat Indonesia di kotanya. Dia dan organisasinya selalu berupaya membangkitkan semangat ke-Indonesian di komunitasnya. Selain untuk mengikuti Pemilu 2009 yang akan berlangsung sebentar lagi, baca koran, itu yang bisa saya tangkap sebagai ajakkannya untuk selalu coba mengikuti berita negeri. Anehnya, walaupun di jaman internet ini dimana informasi sangat mudah untuk didapat, jujur saja masih sulit untuk membiarkan diri duduk didepan laptop dan dengan satu dua klik membuka thejakartapost.com atau kompas.com. Saya sempat terpikir mungkin sampai saya mengalami langsung atau seperti yang seperti disampaikan Yosua dalam presentasi nya, sampai malam sebelumnya gua mendengar berita tanggul jebol dari teman, baru tersentak sadar.

Kalo Yosua bermain di organisasi di Amerika sini, di presentasi kedua, teman kita, kak Tuti menceritakan pengalamannya makan asam garam di beberapa organisasi di Indonesia. Ia mempunyai hati yang besar untuk perjuangan hak-hak kaum perempuan. Dari besar di keluarga kurang mampu, mudah yang menjadi alasannya untuk ia sampai sekarang dengan beasiswa bisa melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Kak Tuti mempunyai cita-cita yang tinggi untuk masa depan bangsa terutama masyarakat yang termarginalisasi, kaum perempuan. Engga bisa saya sebutkan satu persatu organisasi ataupun jaringan (networking) yang lebih luas yang udah dimasukki olehnya. Tapi yang pasti kalau ingin mencari tahu lebih lanjut tentang organisasi, langkah, atau sekedar tips, ia bersedia sekali dimintai tolong apalagi dibantu berjuang.

Sesi pertama diakhiri oleh Audi yang menceritakan kalo dia engga pernah terpikir untuk punya hati untuk Indonesia apalagi sampai menyuarakannya ke orang lain. Tapi siapa yang tahu, kalo lambat laun kecintaan akan negeri ini tumbuh dan klimaksnya sampai ketika dia diminta jadi panitia, bahkan menjadi ketua OBSESI. Pandangannya berubah 180 derajat, dari yang berpikir kalo negara seperti di Afrika sanalah yang perlu dibantu menjadi orang-orang dinegara sendiri. Suatu transformasi yang menurut saya luar biasa untuk dialami oleh seseorang untuk punya hati akan bangsanya sendiri. Sesi satu ini diikuti dengan tanya jawab yang menarik pula, mulai dari pertanyaan seputar nasionalisme, langkah-langkah yang bisa diambil kita-kita yang jauh dari tanah Indonesia, sampai diskusi humor soal bahasa Indonesia baku. Networking yang kalo di Indonesiakan menjadi jaringan =).

Sesi kedua kita kembali dihadiri oleh tiga narasumber, yang juga dari teman-teman kita sendiri lengkap dengan cerita-cerita nya yang unik. Teman kita yang berbicara pertama, mas Yeki begitu panggilannya, menceritakan kegigihan untuk bangkit dari kondisinya yang bagi budaya Indonesia tidak memungkinkan memperoleh cita apalagi kesempatan bersekolah tinggi sampai S2 di Austin sini. Yang membuat saya takjub adalah tidak satu katapun yang keluar dari mulut mas Yeki menunjukkan keluhan, tapi malah kata-kata yang menyemangati. Membuat saya bertanya-tanya dalam batin, sebenarnya temanku ini yang patut dikasihani atau jangan-jangan malah saya sendiri. Dengan keyakinan yang bukan sembarang didapat, perjuangannya juga dilakukan untuk masyarakat yang terhimpit. Bayangkan kalo semua orang Indonesia bersikap seperti ini, alangkah majunya negara kita. Mas Yeki ini seorang tuna netra yang sedang mengambil jurusan special education.

Dan, yang menjadi pembicara selanjutnya, Tan Tan. Tan tan yang baru lulus semester lalu membawakan personal sharingnya selagi dia sedang mengalami masa menanyakan jati diri, cita dan kontribusi yang ingin dilakukan di masa kelulusan ini. Jujur saja engga biasa saya mendengar dari mulutnya dengan keberanian dan kejujuran meneriakkan kalo dia butuh bantuan untuk merealisasikan cita yang dipunya. "Gua ingin merekam cerita orang-orang Indonesia yang jarang terdengar" katanya. "Terutama yang terhimpit, dan kemudian diberitakan ke orang-orang lain" lanjutnya. Lantas langsung aja, engga sedikit juga dari para penonton waktu itu meresponinya. "Abis ini kita ngobrol, gue ada ide yang mungkin cocok ama elo" begitu kata seorang penonton sambil tersenyum senang. Menurut saya, ini komunitas Austin yang asli dan baik budayanya untuk diteruskan. Dimana ketika satu orang meminta tolong untuk merealisasikan impiannya, teman yang lain langsung menjulurkan bantuan. Cita atau proyek nya ini bisa jadi bukan sembarang proyek seperti proyek sekolah yang mungkin dengan keterpaksaan, atau motivasi nilai A. Melainkan bisa jadi buah dari dasar impian hati. Proyek yang mungkin dampaknya jauh lebih besar dari nilai A dan naiknya angka GPA.

Tiba di presentasi terakhir obsesi yang berjudul "I am Indonesian... then what?", Kezia mempresentasikan dirinya yang punya cita kolektif dengan kakak-kakaknya. Sungguh kreatif dan kekompakkan tergambar disini. Kalau dipikir-pikir, sudah jarang sekali hal semacam ini untuk ditemui. Jangankan di Amerika, di Indonesia pun juga kena imbas dari dunia yang makin cepat dan kian individualistik, yang unsur kekeluargaan mulai hilang. Kezia perlu disemangati semangat kekeluargaannya. Ia dan kakak-kakaknya bekerja sama untuk satu tujuan yang dipunya. Kakak yang satu mengambil jurusan manajemen LSM, kakak lainnya dibagian pendidikan, dan dia sendiri komunikasi, mereka bertiga bercita ingin membuka satu lembaga yang bisa memberikan bantuan berupa fasilitas komputer atau alat belajar lainnya. Kepada siapa? kepada sekolah-sekolah yang tidak mampu.

OBSESI yang mangandung banyak cerita itu ditutup dengan penyerahan mug Longhorn (saya yakin Yosua bakal pakai mug ini^^) dan sertifikat tanda terima kasih kepada ke-enam pembicara. Ada hadiah juga untuk pertanyaan paling bagus yang berhasil dilontarkan selama sesi tanya jawab.

Yah, lewat tulisan ini saya punya harapan kalau ajang OBSESI ini bisa terus ada. Sederhana saja alasannya. Pertama, karena saya, dan saya yakin banyak dari yang hadir termotivasi akan cerita cita-cita teman-teman kita yang bukan kecil loh... besar, sebesar bangsa, bangsa kita, Indonesia. Kedua, engga perlu dengan objektif kuantitas yang bisa meramaikan satu auditorium, saya senang sekali dengan kualitas OBSESI ini yang selalu menjadi fokus peningkatan. Bukan berarti saya tidak setuju untuk mencoba menghadiri banyak orang. Saya hanya berpikir kalo dengan kualitas ini sudah mampu menggerakkan hati orang-orang yang biarpun sedikit ini untuk membuat suatu perubahan besar, bagaimana dengan menambah satu orang, dua orang, dan lebih banyak orang... tidak terbayang perubahan macam apa yang bakal ada. Dan semua ini bisa dimulai di kota Austin ini. Jadi bisakah kata "Indonesia" menjadi jawaban dari pertanyaan saya di paragraf pertama diatas?