Wednesday, October 15, 2008

Sang Pemburu Nasib



Nasibku, seorang anak datang ke dunia. Suci layaknya anak singa membuka mata memandang hutan rimba. Kumelihat dunia tawarkan keasingan, dalam kemiskinan. Kedua tanganku dibakar amarah dan ego. Tangan kanan bermain dadu, perlihatkan kebusukan lelaki. Tangan kiri menggores kulit sendiri dengan pisau. Hormat dimatikan dengan dendam; surga tak nampak lagi di kaki siapapun. Jari-jariku mati rasa, karena pergulatan satu sama lain. Keluargaku miskin. Oh nasibku.

Nasibku kudorong, hendaknya bergeser. Lemah bahuku membuka pintu keluar. Kumelihat dunia di mana kebebasan kucari, dalam kemiskinan. Mataku terpaku ke depan. Yang kuburu menjual kepuasan emas. Sendiri kumemicingkan mata ke sasaran, walau jauh dan tak pasti. Kubawa bekal ilmu dan ideologi ke mana-mana. Mulutku dibungkam sekitarku, mereka yang menampilkan emas di kulit tubuhnya. Kubenci mereka yang menolak melihatku karena ketelanjanganku. Cih … biar kubelajar berenang ke seberang; walau perahu tak mau mengangkut pemuda miskin. Aku bekerja. Ah aku miskin.

Nasibku kutendang kesana kemari, kumainkan. Genggaman jari-jariku merusak kunci di depan, mendobrak. Kubawa masuk hanya diriku, dalam kemiskinan. Kucoba air kotor di lautan kering. Sasaran terlihat semakin dekat. Batu-batu kulompati dengan mudah; sang Pencipta tunjukkan jalan. Tusukan-tusukan dari samping tak mampu menggenggam pergelangan kakiku. Aku berlari. Memang aku miskin.

Nasibku tak ada lagi. Aku telah dipimpin cahaya. Kupikir, nasib mati dalam kegelapan.

Cahaya menaruh tanggannya di pundakku senantiasa. Hangatnya ingatkanku akan perjuangan dalam kemiskinan. Terangnya lingkupi mereka yang tak terlihat telanjang mata. Kuatnya memberi tujuan.

Nasib, aku masih miskin. Belum tuntas perang ini. Tapi aku tak miskin moral. Aku tak miskin pendirian. Aku tak miskin arah. Maka enyahlah! Jangan gangguku lagi.

Setra


0 comments: