Wednesday, September 24, 2008

Karya Budaya

Menjelang petang, tepat dipertengahan sebuah minggu. Ketimbang meneruskan menyelesaikan reading assignments yang segunung itu, tiba-tiba seluruh tubuhku terdorong oleh sebuah kekuatan magis yang sangat kuat untuk menuliskan beberapa baris kata tentang film Indonesia. Tentu saja, setelah secangkir kopi susu tersanding manis di sudut meja.

Seperti halnya beberapa kawan yang pernah kutanyai tentang film Indonesia hingga setahun yang lalu aku pun berpandangan sangat sinis dan penuh hardik. “Halah, film Indonesia apaan?! Paling-paling kalau nggak cinta-cintaan ya horor-horor nggak jelas..!!” Pikiran memandang-rendah terhadap film Indonesia ini telah menjadi semacam pola baku dalam otakku. Sejak dulu, sekarang dan sampai kapanpun kondisinya akan selalu seperti itu. Tidak akan berubah. Maka setiap melintasi gedung-gedung bioskop yang memutar film Indonesia selalu mataku tertumbuk pada kerumunan orang yang mengantri tiket atau menunggu pemutaran film-tersebut, dengan pikiran di benak “ah.. kasian amat orang-orang bego itu, nonton film nggak mutu”.

Hingga semester kemarin ketika aku mengambil kelas di RTF Dept (Radio, TV and Film) aku bertemu dengan beberapa kawan sekelas dan ketika mereka mendapati ku dari Indonesia mereka langsung mngapresiasi tentang perkembangan film Indonesia. Pertama aku mengira itu hanya standar basa-basi klasik-nya a la Amerika. Sampai suatu ketika ketika break di sela sesi satu dan sesi dua perkuliahan salah satu diantara mereka (Kevin namanya) bercerita kepadaku tentang fluktuasi perkembangan film Indonesia. Dia dengan sangat fasih bercerita tentang mati surinya industri film di Indonesia padatah kurun 1980an sampai 1990an, sampai pada era kebangkita film indonesia di pertengahan 1900an hingga sekarang. Dan hasilnya sekarang kita bisa membuktikan sendiri dari 4 bioskop rata-rata 2-3 diantaranya memutar film Indonesia. Bahkan film-film itu sampai di ekspor ke negara tetanga seperti Malaysia dan Singapura.

Di sini aku akan gambarin lebih detail tenang perkembangan film Indonesia. (..karena gua orang Indonesia, masak kalah sama si Kevin.. hehehe). Pada periode “mati suri” itu seluruh bisnis perfilman Indonesia 100% di topang oleh film-film import baik dari US maupun China. Sementara film Indonesia pada kurun waktu itu hanya dipenuhi oleh film-film yang mengeksploitasi seksualitas. Masuk awal era 1990an baru bermunculan film-film idealis yang di promotori oleh Eros Djarot dan Garin Nugroho. Eros Jarot sukses besar dengan film “Tjut Nya’ Dien” (1988), aku inget betul waktu nonton film itu (kalau gak salah waktu itu kelas 1 SMA) getarannya terasa hingga beberapa hari, perasaanya persis ketika aku nonton film Artificial Intelegence nya Steven Spielberg. Semetara Garin, dengan sederhana, perlahan tapi pasti meluncurkan film-film idealisnya yang “sangat tidak laku di pasaran, seperti “Cinta dalam Sepotong Roti” (1991), “Bulan Tertusuk Ilalang” (1995) dan “Daun di Atas Bantal” (1998). Untuk film yang terakhir itu aku acungi 10 jempol! Cerita tentang kehidupan riil anak jalanan. Film yang membongkar habis artifisialisme moralitas kaum menengah ke atas yang kerjaannya hanya berlindung di balik sikap “escapism”. Dan hebatnya lagi aktor2nya asli anak jalanan, dan tak lupa my favorite actrees: Cristine Hakim!

Tetapi sekali lagi masa itu belumlah memasuki masa “industrialisasi” film, masih dalam tahan “identifikasi”. Artinya, film Indonesia masih dalam tahap menunjukkan jati dirinya dan membuktikan bahwa “kami ada!”.

Barulah pada tahun 2002 perfilman Indonesia di guncang oleh gegar “Ada Apa dengan Cinta”. Cerita yang disuguhkan dalam film itu biasa-biasa saja, dan menurutku Dian Sastro dan Nicholas Saputra juga nggak cakep-cakep amat dibandingkan sederet artis dan model yang Indonesia punya. Menurutku yang membuat film ini menjadi momentum adalah tingkat keseriusan penggarapan sebuah film. Manajemen dan perencanaan marketing yang rapi, tak lupa juga kemasan yang amat cantik dengan menggandeng hits maker, Melly Goeslaw di musikalitasnya. Rudi Sudjarwo (sutradara) yang betahun-tahun tinggal di California (berpindah-pindah mulai San Diego sanpai San Fransisco) juga berperan besar dalam peletakan film ini sebagai salah satu mark dalam sejarah Indonesia.

Tonggak sejarah perfilman Indonesia kembali tercipta tahun lalu melalui film “Ayat-Ayat Cinta”. Yang membuat film ini hebat, lagi-lagi bukan cerita nya yang berbobot, mengandung filsafat macem2, dll, tapi kemmapuannya meraup pasar yang luar biasa. Total penonton film ini hampir 5 juta orang! (belum termasuk yang nonton dari VCD bajakan ya...) 3,6 juta diantaranya dari pasar domestik, sementara sisanya dari Malaysia dan Singapura. Film ini tercatat sebagai rekor film yang paling banyak di tonton dalam sejarah perfilman Indonesia. (OOT; rekor novel paling laris dalam sejarah Indonesia sekarang di pegang “Laskar Pelangi”).

Nah, itu tadi adalah film-film yang menonjol dalah sejarah perfilman Indonesia. Sekarang aku pingin mengupas satu persatu dan melakukan sedikit kategorisasi film-film yang ada di Indonesia yang patut diapresiasi. Maaf kalau kategorisasinya agak ngawur, maklum bukan mahasiswa RTF... ;)

Psikologi. “Claudia/Jasmine” film ini bercerita tentang bagaimana upaya seorang perempuan dalam berdamai dengan trauma di masa lalu, hampir sama dengan “Tentang Dia”. “3 Hari untuk Selamanya” merupakan deskripsi tentang proses pencarian jati diri dan definisi hidup bagi manusia di usia remaja. “Detik Terakhir” cerita tentang kehidupan ekstrem: lesbian plus pecandu narkoba, dan bagaimana ereka deal with masyarakat dan norma yang ‘mencampakkan’nya, pesan yang hampir sama tapi dengan kemasan yang sedikit berbeda (yang ini straight) juga tersaji dengan apik dalam film “Radit dan Jani”. Film “I love you Om” konon diangkat dari kisah nyata seorang anak perempuan SD yang jatuh cinta dengan lelaki usia 30 an (ck..ck..ck..!). terakhir dalam kategori ini yang paling huebat adalah “Ekskul” nggakperlu aku komentari,tonton aja sendiri, film yang benar2 mengguncang jiwa raga!

Humor. Akhir-akhir ini bermunculna film-film humor yang berbau sex (tetapi nggak eksploitatif, cukup diskursif) terutama film2 yang dibintangi Tora Sudiro, seperti “Quickie Express” atau “Namaku Dick”. Ada banyak judul-judul lain sih... lumayan lucu dan menghibur. Film-film humor dengan gaya joke yang ‘aneh’ dan ‘inovatif’ dapat di temui di “Kwaliteit 2”, “Maskot” dan “D’Girlz Begins”. Film yang lucu abis dan gaya joke yang “Indonesia banget ada di “Jomblo”, “Mendadak Dangdut”, “Maaf Saya Menghamili Istri Anda”dan “Get Married”.

Horor/Thriller/Adventure. Aku nggak banyak nonton sih, tapi yang sepat membuat hatiku tergerak untuk menonton itu: “Jaelangkung”, dan “Kuntilanak” karena di sebut-sebut sebagai film horor yang penggarapannya cukup serius. Tapi satu film genre horor yang menurutku ciamik itu “Kala”. Untuk film thriller dan adventure yang cukup bagus itu ada “Tragedy” dan “Ekspedisi Madewa”.

Cinta. Nah kategori ini nih yang paling sering dapet cemoohan. Padahal kalau menurutku sih “Apa Yang Salah Dengan Cinta”??!!. Seremeh temeh apapun padnangan kalian tentang film-film cinta, yang jelas setiap abis nonton film-film ini perasaanku menjadi betambah cinta pada istriku. Dan aku menjadi semakin benci bila melihat ada laki-laki atau perempuan yang menyia-nyiakan cinta mereka punya. Cinta itu indaaaahhh banget...! film-film ini juga yang membuat aku berpikir bahwa (karena aku cowok) bahwa semua perempuan harus mendapatkan tempat yang paling istimewa dihati pasangannya. Adapau film-film yang meneduhkan itu adalah: “Ruang”, “Love”, “Brownies”, “Heart”, “Mengejar Mas-mas”, “Butterfly” dan “Selamanya”.

Anak/Keluarga. “Denias: Senandung di Atas Awan” aku kira udah pada banyak yang nonton ya... nah sebenarnya ada banyak film-film lainnya yang sama hebatnya dengan film itu, seperti “Petualangan Sherina”, “Ariel dan Raja dari Langit”, dan yang paling aku suka plus sangat kena’ banget itu film yang judulnya “Untuk Rena”, cerita tentang hubungan papa dengan anak perempuannya...daleeemm banget.

Sosial-Politik/Gender. Nah, makin kesini makin serius nih genrenya, makanya salah itu kalau ada yang bilang film Indonesia isinya cuman “Cinta” dan “Horor” aja. Justru daftar film di genre ini cukup panjang. Yang paling hebat menurutku “Gie” kisah tentang aktifis angkatan ’66 bernama Soe Hok Gie, yang merupakan kakak kandung intelektual terbaik Indonesia saat ini Arif Budiman yang merupakan jebolan Cornell Univeristy dan sekarang jadi dosen tetap di Melbourne Univ. film-film tentang kehidupan masyarakat miskin dibuat dengan sangat apik dan ‘jujur’, seperti “Daun di Atas Bantal”, “Kun Fayakun”, “9 Naga”, “Mengejar Matahari”, “Rindu Kami Pada-Mu” dan “Wo Ai Ni”. Yang terakhir adalah cerita tentang kehidupan masyarakat miskin keturunan Cina di Singkawang. Film lain tentang warga keturunan ada juga di “Ca Bau Kan”. Secara khusus tentang tragedy 1998 ada di “Novel Tanpa huruf R”. Ada juga film tentang Amrozi dkk berjudul “Long Road to Heaven”. Film yang cukup fenomenal dala kategori ini adalah “Arisan!”. Hermawan Kertajaya, salah seorang pakar Marketing Indonesia sampai secara khusus mengudang penulisnya, Nia Dinata, untuk bicara di depan ratusan pengusaha Indonesia tentang kecerdasanya dan kejeliannya mngungkap budaya pop masyarakat (konsumen) Indonesia saat ini. ada dua fil bertema kesetaraan gender yang rapi sekali penggarapannya, yaitu “Berbagi Suami”, film senada dengan warna yang berbeda adalah “Sebening Hati Wanita”.

Filsafat/Budaya. Nah lo, ternyata film Indonesia ada yang bertema filsafat juga! Coba aja lihat film seperti “Pasir Berbisik”, (sekali lagi) “Novel Tanpa Huruf R”, “Telegram”, “Betina” dan “Mereka Bilang Saya Monyet” film-film tersebut buat ku harus ku tontotn berkali-kali untuk mengerti maknanya dan meresapi pesannya. Ada yang sampai sekarang pun aku masih nggak ngerti apa maksudnya, mungin karena filmnya terlalu filosofis sampai-sampai IQ ku yang a la kadarnya ini gak nyampe mencernanya.

Nah... kalau Rudi Sudjarwo enam tahun di US pulang-pulang langsung buat sejarah besar di perfilman Indonesia (yang nggak copy-paste US pastinya!), lah... aku ntar pulang buat sejarah apaan ya...????

Fadil

0 comments: