Tuesday, November 11, 2008

Bagaimana Menjadi Donor yang Strategis?

Oleh Tuti A. Najib

Jika kita memiliki uang Rp. 1000 atau Rp. 10.000 dan ingin
memberikannya pada orang lain yang kurang beruntung, mungkin tanpa
berpikir panjang, uang itu akan langsung berpindah tangan. Tapi,
bagaimana jika uang tersebut Rp 10 atau 100 juta, mungkin kita akan
berfikir dulu, ke mana uang tersebut akan diberikan, untuk siapa, dan
mengapa harus memberikan uang sebesar itu? Tulisan ini mencoba melihat
bagaimana menjadi donatur yang strategis ketika kita memiliki sejumlah
dana untuk disumbangkan.

Menyumbang untuk jumlah tertentu memang perlu strategi sehingga apa
yang kita sumbangkan bermanfaat bagi penerimanya. Tragedi zakat di
bulan Ramadhan tahun ini memperlihatkan satu gambaran di mana sang
muzakki ingin memberikan uangnya kepada sebanyak mungkin orang kalau
bisa ribuan orang. Sayangnya, keinginan untuk memberi kepada sebanyak
mungkin orang tersebut berakhir tragis dengan meninggalnya 21 orang
tak berdosa karena berdesak-desakan demi mendapat santuan Rp 30.000.

Menjadi seorang dermawan adalah mulia. Tapi bagaimana dermawan bisa
memberi dampak sosial yang lebih besar kepada masyarakat penerima,
bukan hanya membantu individu-individu untuk memenuhi keperluan sesaat
seperti santunan makanan dan uang.

Menurut Peter Frumkin, seorang profesor dan pakar filantropi dari
University of Texas at Austin, empat hal yang perlu dipertimbangkan
ketika seseorang berniat menyumbang. Pertama, terkait dengan
pertanyaan apa yang hendak kita capai dengan memberi? dengan kata lain
apa tujuan memberi. Apakah untuk memenuhi interest donatur atau
interest penerima. Dua kepentingan ini bisa dikompromikan dengan apa
yang disebut sebagai philanthropic value. Yaitu nilai-nilai yang
berpijak pada kompromi antara kepentingan pemberi dan kepentingan
masyarakat umum.

Kedua, seorang donatur yang strategis juga hendaknya melihat bagaimana
style dia sebagai pemberi. Apakah seorang pemberi cukup mengeluarkan
uang atau menulis selembar cek dan mengirimkan kepada organisasi
sosial tanpa tahu bagaimana organisasi tersebut mengelola dana.
Ataukah kita seorang yang sangat peduli bagaimana dana filantropi
dikelola. Keingintahuan dari pemberi bisa dikategorikan sebagai high
involvement terhadap pengelolaan filantropi. Sedangkan
ketidakingintahuan bisa dikatakan sebagai low involvement. Keinginan
pemberi untuk tahu ke mana sumbangan diberikan dan bagaimana dikelola
bisa bermakna positif karena akan berimplikasi pada keterlibatan untuk
memikirkan bagaimana organisasi filantropi berkembang. Kita mungkin
bisa menyumbangkan tenaga dan fikiran, bahkan membukakan relasi yang
lebih luas kepada organisasi. Jadi, dengan terlibat membantu
memikirkan perkembangan organisasi, kita tidak hanya memberi sumbangan
materil, tapi juga moril.

Ketiga, donatur perlu memikirkan kendaraan apa yang akan digunakan
untuk mengalirkan bantuan. Apakah langsung memberi kepada penerima
individu di sekitar rumah atau lingkungan pemberi, ataukah kita hendak
menggunakan organisasi untuk menyalurkan sumbangan tersebut. Ada
banyak pilihan buat para donatur untuk bisa memberi pengaruh yang
lebih besar kepada masyarakat penerima jika mereka ingin menyumbang.
Ada organisasi filantropi pemerintah seperti Badan Amil Zakat (BAZ),
ada Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta seperti Dompet Dhuafa Republika,
PKPU, dan LAZIS Muhammadiyah. Ada pula organisasi filantropi yang
dikelola media seperti RCTI Peduli dan ANTV Peduli. Tak ketinggalan,
organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU juga menerima
sumbangan masyarakat luas. Saat ini, yang terbesar menerima sumbangan
masyarakat Muslim adalah masjid.

Namun, donatur juga mempunyai pilihan untuk menyumbang
organiasi-organisasi sosial yang bekerja untuk anak, orang lanjut
usia, maupun para pencandu narkoba dan penderita aids. Mereka bisa
mengalirkan bantuan kepada yayasan sosial seperti panti asuhan, panti
rehabilitasi, dan panti jompo. Banyak para pecandu narkoba datang dari
kalangan tidak mampu. Mereka tidak bisa mengakses panti rehabilitasi
karena kesulitan dana. Juga, penderita aids bisa datang dari keluarga
miskin yang mungkin tidak mampu membeli biaya pengobatan. Begitu juga,
mungkin banyak para lansia yang datang dari keluarga tidak mampu dan
tidak memiliki sanak keluarga yang bisa merawat mereka.

Tak ketinggalan, yang perlu disumbang adalah lembaga pendidikan dan
lembaga riset yang saat ini masih jauh dari apa yang kita harapkan.
Bagaimana universitas di Indonesia bisa menjadi universitas
internasional jika akses terhadap perkembangan dunia ilmiah dari luar
negeri saja tidak bisa diperoleh dengan mudah. Pemerintah atau lembaga
pendidikan kita belum mampu membiayai riset yang bertaraf
internasional atau menyediakan fasilitas untuk melakukan riset yang
berkualitas. Dan masih banyak lagi bidang-bidang yang masih memerlukan
uluran tangan donatur seperti seni, budaya, dan olah raga.

Keempat, donor perlu menimbang jenis dan lingkup kegiatan yang bisa
dicapai oleh sumbangan. Ada beberapa pilihan yang bisa diambil.
Action vs. ideas. Apakah pemberi akan menyumbangkan dana untuk
kegiatan yang bersifat langsung (direct services) seperti pemberian
santunan makanan, santunan uang, membiayai shelter untuk perempuan
korban kekerasan, atau menyumbang panti rehabilitasi. Di sisi lain,
donator juga bisa memilih kegiatan yang sifatnya lebih mengarah pada
pencapaian ide seperti kegiatan advokasi, riset, dan pengembangan.
Aktivitas advokasi semacam ini dibedakan dari direct services karena
efek yang dihasilkan tidak bisa lihat langsung. Advokasi untuk
perubahan kebijakan dan riset ilmiah, misalnya, bisa tercapai dalam
beberapa tahun. Namun demikian, kegiatan yang bersifat jangka panjang
ini tetap perlu didukung karena dampaknya yang bisa jauh lebih besar
dari kegiatan layanan social secara langsung. Hasil riset bisa
mendukung arah para pembuat kebijakan dan praktisi dalam menyediakan
layanan social yang efektif. Demikian juga, advokasi yang berbuah pada
kebijakan publik yang pro-rakyat kecil bisa menguntungkan jauh lebih
banyak orang daripada membantu individu-individu secara langsung.

Begin vs. Build. Pilihan krusial lain yang juga perlu menjadi
perhatian donor ketika ingin menyumbang adalah apakah ia akan
menyumbang organisasi atau kegiatan yang sudah eksis ataukah membuat
organisasi atau kegiatan baru. Tentu saja, ada kelebihan dan
kekurangan ketika donor menentukan membangun dari awal atau meneruskan
kegiatan atau organisasi yang sudah ada. Membangun dari awal menjadi
sarana dimana donor bisa menuangkan gagasan dan ide cemerlang dalam
bentuk kegiatan real. Juga, mungkin bisa menggaet donator lain untuk
bergabung. Di samping itu, membangun organisasi dari awal memiliki
fleksibilitas dari sisi staf dan organisasi sesuai dengan yang
diinginkan.

Akan tetapi, ada kekurangan ketika memulai kegiatan dari nol.
Misalnya, bisa jadi kegiatan atau organisasi yang dibentuk adalah
repetisi, artinya sudah banyak yang melakukan kegiatan serupa. Di
sini, perlu kejelian donor untuk memerhatikan pentingnya konsolidasi
antar lembaga filantropi dan organisasi yang sudah ada. Di samping
itu, tentu saja, memulai organisasi dari awal akan lebih banyak
menyita waktu, perhatian, dan dana yang lebih besar. Karenanya, donor
perlu merasa yakin jika membuat kegiatan atau organisasi baru adalah
pilihan yang tepat.

Few vs. Many. Pertimbangan lain yang perlu menjadi perhatian donor
adalah apakah pemberi ingin memberikan dananya kepada sedikit
organisasi tapi dalam jumlah besar atau kepada banyak organisasi kecil
tapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Memilih menyumbangkan dalam
jumlah yang besar dan dikelola oleh sedikit organisasi kemungkinan
bisa memberi dampak lebih besar karena mereka bisa membuat kegiatan
yang besar. Namun, memberi kepada organisasi yang lebih kecil juga
penting apalagi ketika donor masih mempelajari isu-isu sosial yang
dianggap penting yang ingin ia sumbang.
Juga menarik ketika pilihan donor dikontraskan antara memberi kepada
sedikit individu atau kepada lebih banyak individu. Seorang dermawan
yang mengundang ribuan orang untuk mendapat santunan meski dengan
jumlah yang tidak banyak menarik untuk menjadi contoh. Sang dermawan
ingin uangnya dinikmati sebanyak mungkin orang sehingga lebih
memengtingkan jumlah penerima daripada kualitas sumbangan.

Local vs. Global. Pilihan lain yang bisa menjadi pertimbangan antara
memberi kepada organisasi local, nasional, atau internasional. Mereka
yang menyumbang untuk organisasi lokal biasanya peduli dengan
masyarakat dan lingkungan sekitar dimana mereka tinggal. Namun, donor
juga mempunyai pilihan untuk memberi dampak yang lebih luas kepada
masyarakat di luar lingkungannya. Mereka bisa menyumbang organisasi di
tingkat nasional bahkan bisa membantu masyarakat luar negeri yang
tinggal di negara berkembang lainnya. Untuk konteks Indonesia saat
ini, tentu saja, masyarakat lokal dan masyarakat Indonesia pada
umumnya masih lebih banyak membutuhkan sumbangan baik dari donor di
dalam maupun di luar negeri.

Perlu beberapa pertimbangan untuk mewujudkan sumbangan yang membawa
perubahan pada masyarakat. Empat strategi menjadi donor di atas,
tujuan memberi, cara memberi, tipe organisasi yang akan disumbang, dan
jenis kegiatan serta ruang lingkup sumbangan, diharapkan bisa memberi
arah untuk menjadi donor yang strategis.

2 comments:

Rainy Priadarsini said...
This comment has been removed by the author.
Rainy Priadarsini said...

bisa tahu sumber bukunya apa saja???apa smua yang dijelaskan diatas dari peter frumkin "strategic giving"??trims