Thursday, March 26, 2009

Salam dari tengah-tengah hujan

Sedemikian pula waktu berjalan dengan pelan. Ketika sedang menunggu giliran presentasi, sang penulis teringat kepada kampung halamannya dahulu di Austin, Texas. Andai ia dapat kembali, bersama teman-temannya yang sudah dikenal dengan baik. Tidak disangka takdir membawanya ke Atlanta, dimana saya bisa belajar di salah satu universitas yang terkenal dalam subyek teknik penerbangan. Tidak disangka pula, sudah banyak ia perlu meninggalkan orang-orang: dari sejak ia pindah studi ke singapura sampai saat ini. Dimana banyak orang yang mempunyai impian untuk berkelana di tempat nan jauh, sang penulis sangat bimbang untuk pergi. Dua sisi koin: dimana satu menayangkan masa depan, dan satu lagi melambangkan nostalgia.

Akhir tahun 2008, penulis menerima kabar bahwa ia diterima di Georgia Institute of Technology, untuk melanjutkan bidang pelajaran di tingkat S2. Uang sekolah dibayar, bahkan pekerjaan yang memberi gaji bulanan. Kemungkinan hal ini cukup untuk orang-orang mengambil tawarannya. Meskipun disaat itu penulis tidak ingin pindah ke Atlanta (karena alasan cuaca dan berbagai alasan lain), ia tidak merasa bahwa hidupnya akan sangat berubah.

Alangkah berbedanya realita dan ideal dari sang penulis ketika ia sampai di kampus sekolah untuk pertama kali. Dia tidak tahu menahu dan tidak mengerti apapun, ketika dikirim kesana kemari untuk membereskan formulir-formulir sekolah, ketika ia harus masuk ke dalam kelas yang berisi tujuh puluh murid lainnya, dan ketika ia harus belajar untuk mengejar pelajaran yang tidak dia ikuti dari tahun silam. Semua ini sangat asing baginya. Tidak ada orang yang dikenal. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara. Baru kali ini sang penulis merasa sepi. Dahulu, ia dapat melakukan kegiatan sendiri dan tidak perlu bertatap muka dengan siapapun. Saat ini, ia merasa hidupnya tidak lengkap dengan ketidakberadaan orang-orang tersebut.

Apakah yang terjadi dalam masa 3 bulan ini? Sang penulis masih belum mengerti dengan penuh. Tetapi, apa yang ia dapatkan semasa ia berkunjung kembali ke Austin adalah keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaaan sang penulis di saat ini. Meski ia telah mengenal orang-orang lain di kota baru ini, ia tetap tidak akan melupakan teman-teman yang ia tinggalkan. Merekalah yang memberinya kekuatan di saat-saat yang tidak pasti, di saat-saat bimbang, dan di saat-saat yang tidak menyenangkan.

Dan akhirnya, sang penulis dipanggil oleh salah satu anggota tim untuk masuk ke ruang presentasi. Inilah akhir dari cerita pendek yang bisa ia tulis dalam waktu satu jam selagi menunggu. Kiranya ini bisa menjadi memori yang tertulis atas kerinduannya di tempat yang lama.

Jeffrey Tanudji

2 comments:

Handi Chandra said...

Jeff,

Thanks for sharing this very personal testimony. I feel you bro! begitu mungkin yang bisa aku sampaikan di detik ini.

How did your presentation go?

Vidia Paramita said...

Jep...

hehehe austin mengangenkan yah..

thanks for sharing!