Wednesday, April 1, 2009

KESADARAN YANG MENYAMPAH

IBARAT SEBUAH RUMAH YANG TAK MEMILIKI TEMPAT sampah dan kamar mandi, kotoran Kota Bandung berserakan di setiap pojok ruangan. Di ruang tidur, di ruang bermain, di ruang makan, di mana-mana. Bahkan di pojok "ruang tamu", di pintu selamat datang Bandung, sampah-sampah menumpuk dan berbau busuk menyengat.

Sampai kapan Kota Bandung akan menjadi kota sampah, semua tak tahu. Bahkan dengan upaya pemerintah Kota Bandung yang rajin mengangkut sampah akhir-akhir ini, diperkirakan sekitar 7 bulan mendatang Bantung baru akan bersih dari sampah. Tapi benarkah 7 bulan, sementara sampah konsumsi Bandung setiap hari semakin bertambah? Dan kuatkah masyarakat Bandung menahan bau busuk menyengat serta penyakit yang dibawa lalat yang berlesatan di depann mata selama itu?

Bandung telah menjadi kota sampah. Masyarakat harus rela menutup hidungnya sepanjang jalan menahan bau busuk sambil mengusir lalat-lalat yang merubung. Dulu ketika sampah Bandung mulai menumpuk busuk pertama kalinya, masyarakat Bandung sewot dan bertanya-tanya mengapa truk pengangkut sampah tak kunjung datang?

Setelah tahu bahwa Bandung tak punya TPA, masyarakat mulai menyadari bahwa sampah disekitarnya tak akan diangkut sampai kota Bandung punya TPA lagi. Masyarakat masih sewot dan mengeluh. Lembaran-lembaran gugatan dan komplain muncul di berbagai surat kabar, spanduk, selebaran, televisi.

Semakin lama sampah menumpuk, kesadaran masyarakat semakin terusik untuk berontak. Sampah-sampah mulai dibakar sendiri dan papan-papan kekecewaan yang terdengar mengancam Pemerintah Kota mulai ditancapkan ditumpukkan-tumpukkan sampah.

Tapi lain dulu lain lagi sekarang. Kesadaran masyarakat Bandung diam-diam sudah mulai menyampah. Merela diam-diam mulai menyadari bahwa sampah harus diterima sebagai bagian dari kehidupan mereka. Sampah menjadi teman. Dan kesadaran untuk mempertanyakan dan mengguga realitas itu mulai menumpul, mulai menyampah.

Ibarat seseorang yang terbuasa dengan kotoran dan sampah berserak di dalam rumahnya, masyarakat sudah mulai menerima dan mau hidup bersama sampah. Dulu, pada masa awal, ketika Kota Bandung disebut kota sampah dalam televisi, masyarakat dan pemerintah kota Bandung geram dan tak terima. kini, siapapun yang menyebut Bandung kota sampah, masyarakat dan pemerintah kota Bandung mulai mengangguk, ya... ya... memang betul sih.

Bahkan ketika Kementrian Lingkungan Hidup mengumumkan Kota Bandung sebagai kota metropolitan terkotor dalam Malam Anugerah Lingkungan Adipura 2006 (Kompas, 13/06/06, h.12), masyarakat dan pemerintah Kota Bandung mulai rela mengangguk mengiyakan.

Sampah dan kesadaran

Hal yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini bukanlah masalah sampah Kota Bandung yang harus segera ditangani, tapi lebih pada kesadaran masyarakat Kota Bandung (khususnya tentang sampah itu) yang mulai semakin menyampah. Masyarakat Bandung yang mulai memiliki kesadaran kolektif yang naif dan tidak korektif.

Kesadaran adalah sebuah fakultas mental yang memberikan manusia kemampuan memahami rasionalitas dan kehendak bebas dan memungkinkan adanya pelbagai penafsiran tentang realitas (Takwin, 2005: 85). Di sini, kesadaran berperan memahami dan menentukan kehendak dan sikap kita secara rasional dalam menghadapi realitas di sekeliling kita.

Persoalan terjadi ketika kehendak dan rasionalitas kita tidak padu dan tidak seimbang. Di sinilah kesadaran kita mulai berubah menjadi kesadaran yang naif dan tidak korektif. Ketika kita mengetahui sesuatu, tetapi kita melaksanakan tindakan yang tidak sesuai dengan pengetahuan kita.

Menurut Paulo Freire, kesadaran manusia terkategorikan menjadi empat jenis. Kesadaran transformatif, kesadaran kritis, kesadaran naif, dan kesadaran magis. Pada tingkat kesadaran naif, ketidakseimbangan dan ketakpaduan antara rasionalitas dan kehendak terjadi begitu rupa sehingga membuat manusia tidak menyadari sesuatu yang dia lakukan sebenarnya tidak sejalan dengan pengetahuannya.

Dalam kasus sampah Kota Bandung yang mulai diterima masyarakatnya sebagai bagian--yang mau tidak mau-- harus diterima, kesadaran naif yang bersifat kolektif mulai menggejala dalam alam pikiran masyarakat Kota Bandung. Mereka mengetahui bahwa keberadaan sampah disekeliling mereka mengganggu dan membawa penyakit tetapi mereka mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dalam keseharian mereka dan tak perlu dikoreksi atau ditinjau ulang.

Thomas Aquinas menggunakan akal sehat (common sense) untuk menjelaskan kesadaran. Dalam Summa Theologica ia mengemukakan bahwa manusia dapat menemukan dirinya menyadari sesuatu dengan pengalaman indrawi dan presepsi. Maka, jika seseorang tak mampu menyadari secara utuh apa yang harus dia lakukan, padahal ia sudah melihat realitas dengan indra dan persepsi nya, maka akal sehatnya perlu dipertanyakan.

Inilah sebenarnya yang perlu diwaspadai: dalam kasus yang begitu tampak seperti sampah saja, masyarakat sudah mulai memiliki kesadaran naif kolektif untuk tidak mempersoalkannya lagi. Apalagi pada masalah-masalah yang tak tampak seperti korupsi di tubuh Pemerintah Provinsi, Korupsi Pemerintah Kota, pembengkakan APBD, dan lainnya; bahwa diam-diam akal sehat kita mulai kotor dan penuh dengan sampah.

Sampah sebenarnya

Sampah sebenarnya tidak terletak di sudut-sudut Kota Bandung atau di tempat manapun, yang mulai menumpuk dan membusuk. Sampah sebenarnya teronggok di pikiran kita dan menghalangi kesadaran kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang benar berdasarkan pengetahuan yang benar.

Sampah yang berserak di jalanan atau di setiap tempat bisa segera kita bersihkan kapan saja. Tapi jika pikiran dan kesadaran kita masih dipenuhi sampah, kita masih akan tetap memproduksi sampah sampai kapanpun. Dan serajin apapun kita membersihkan sampah di jalan, di lapangan, di manapun, sampah-sampah tetap akan keluar dari otak kita, dari wajah kita, dari tubuh kita. Menumpuk dan semakin menumpuk.

Apakah kita harus menunggu sebuah ledakan sampah lagi seperti di Leuwigajah, atau apakah kita harus menunggu kota kita benar-benar dipenuhi sampah, untuk mulai membersihkan pikiran dan kesadaran kita dari sampah-sampah yang menghalangi kita untuk berani kritis dan mengoreksi hal-hal yang salah dan keliru menjadi lebih baik dan benar. Tentu saja tidak. Tentu saja kita bukan orang-orang bodoh yang membiarkan semua itu terjadi.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya berharap kita tak terus menjadi orang-orang bodoh yang hanya akan menghasilkan tindakan-tindakan bodoh. Seperti kata Cicero, dum vitant sulti vitia in contraria currunt. Jika orang-orang bodoh ingin menghindar dari perbuatan yang salah, mereka biasanya melakukan sebaliknya.

FAhd Djibran
Insomnia Amnesia. Catatan Mahasiswa Insomnia Bagi Bangsa yang Amnesia
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Press, Yogyakarta: 2007.

0 comments: