Saturday, September 20, 2008

Hak Hidup Manusia

Banyak orang mungkin tidak mengerti arti hak hidup secara frase. Untuk itu, saya akan memberikan satu contoh. Seorang pengemis yang setiap hari perlu bekerja secara minta-minta hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mempunyai hak hidup yang sangat terbatas dibandingkan dengan pelajar-pelajar rata-rata yang berada di luar negeri. Apakah artinya itu? Apakah dengan status kita yang berada di luar negeri artinya kita mempunyai status ekonomi yang memadai? Itu bukanlah maksudnya. Hak hidup bukan menyanggung kepemilikan seseorang, kemampuan fisik seseorang, ataupun kepintaran seseorang.

Hak hidup yang lebih dikenal orang-orang di negara maju adalah hak untuk seorang bayi yang belum lahir untuk hidup. Pendirian ini bertentangan dengan aborsi karena menurut kaum-kaum penyandang hak kehidupan, manusia yang berada di dalam kandungan ibu termasuk sebagai bayi. Tapi dalam kasus Indonesia, masalah hak hidup telah kembali ke awal lagi, dimana hak hidup seseorang ditindas oleh karena orang lain maupun elit politik yang tidak mengasihani kondisi mereka.

Basis hak hidup yang bisa diterapkan di Indonesia adalah kebolehan seseorang untuk menyandang kehidupan yang sesuai dengan dirinya sendiri dan bisa membangun karakter-karakter yang unik pada seseorang. Dengan basis itu, kita bisa mengakatan bahwa keperluan seorang pengemis, yaitu untuk mendapat makanan, tidak membolehkan dia hidup dengan menggunakan kelebihan-kelebihan yang dikuasainya. Mungkin saja pengemis itu mempunyai bakat memancing, tetapi karena dia berada di Jakarta, yang sungai-sungainya penuh dengan limbah, pengemis itu tidak bisa memakai bakat memancing itu dalam mencari nafkah.
Begitu juga orang-orang yang lahir dengan cacat. Banyak sekali kasus-kasus dimana orang-orang cacat didiskriminasi dengan berbagai cara. Salah satu contoh adalah tidak diberikan kerjaan. Mereka dipaksa keluar ke jalan dengan upaya untuk hidup sehari demi sehari. Mereka mungkin seorang yang pintar dan cekatan, tetapi lowongan kerja bagi mereka sudah ditutup dari awal ketika para majikan mengetahui bahwa mereka orang cacat. Hukum-hukum yang didirikan pemerintah pun tidak membantu karena tidak ada yang mengamati apakah hukum-hukum tersebut dipatuhi.

Bahkan banyak dari orang-orang minoritas di Indonesia mengalami diskriminasi pada jaman orde baru yang beberapa diteruskan hingga masa kini. Orang-orang Indonesia yang bukan asal kelahiran dari jawa maupun pribumi tidak diperbolehkan untuk masuk kedalam pemerintahan atau militer. Meskipun kepala-kepala daerah atau gubernur-gubernur propinsi di luar jawa dipegang oleh orang-orang di daerah masing-masing, pusat kekuatan tetap berasal dari Jakarta, yang dipegang di bawah kaum-kaum elit. Walaupun kasus seperti ini tidak menunjukkan urgensi dibanding kasus yang diatas, ini adalah satu contoh yang tidak memberikan kita ruang untuk menjelajahi bakat-bakat kita.

Karena apakah kita perlu memajukan hak hidup orang-orang tersebut? Dalam kehidupan yang telah banyak dimasuki ide-ide darwinisme, manusia yang kuat layaknya naik ke posisi-posisi atas dibanding manusia yang lemah. Alasan sederhananya adalah “survival of the fittest.” Jadi, orang-orang yang tidak mampu menaiki standar hidupnya akan tertinggal di bawah tangga evolusi sosial masyarakat. Sebaliknya, mereka yang telah naik ke puncak tangga tersebut akan merasa bahwa dirinya sudah diluar dari hukum karena mereka mengontrol sekian banyak kuasa. Jadi sudah sepatutnya kita, yang rata-rata bukan dalam kalangan kelas-kelas elit, meninggalkan mereka yang tertindas karena dalam definisi tersebut kita jugalah orang-orang yang tertindas. Untuk apa membantu orang-orang lain jikalau kita sendiri belom bisa membantu diri kita sendiri?

Sebagai seorang Indonesia, kita mempunyai kewajiban untuk membantu Negara kita sendiri. Kita dapat menganggap bahwa kita adalah orang-orang yang lebih maju daripada banyak dari orang-orang yang di Indonesia. Kemajuan ini adalah salah satu basis dari jawaban mengapa kita perlu membantu kaum-kaum yang tertindas ini. Pada jaman dahulu dunia kuno mengakui adanya perbudakan. Budak-budak dapat dijual-belikan seperti layaknya makanan di pasar. Tetapi di Abad Pencerahan (Age of Enlightenment), dunia barat mengakhiri perbudakan secara total. Meskipun begitu, tetap ada beberapa negara yang masih mempraktekkan perbudakan, hanya untuk dihapuskan beberapa dekade kemudian.

Bayangkan jikalau orang-orang yang mempunyai kesempatan untuk mengakhiri perbudakan tidak berbuat apa-apa. Sampai sekarang mungkin saja tetap ada perbudakan yang sangat luas. Tetapi itu tidak terjadi, karena mereka menyadari bahwa mereka yang berpikir lebih maju harus mendorong orang-orang di sekitarnya supaya ikut maju bersama mereka. Banyak manusia lebih menyukai kondisi “status quo” karena sangat gampang bagi seseorang untuk tidak melakukan apa-apa yang menyusahkan dirinya dan menerima suatu keadaan sebagai kenyataan yang tidak bisa dipungkiri.

Perbedaannya dengan masa kini adalah ketidakberadaannya hukum-hukum yang melindungi hak seseorang manusia secara umum. Hukum bahkan didirikan bukan untuk melindungi rakyat, tetapi untuk mematahkan semangat rakyat untuk melawan kepemerintahan yang pada jaman itu merupakan feodalisme atau monarki. Oleh karena itu bukanlah soal mudah untuk para pionir tersebut untuk mencoba mendirikan hukum-hukum yang melindungi rakyat-rakyat tanpa mengurangi kuasa absolut yang dimiliki para penguasa. Kadang dengan susah payah, mereka harus menerima hukuman berat karena disangsi sebagai penghianat. Tetapi, akhirnya mereka berhasil melewati berbagai rintangan untuk mendirikan hukum-hukum yang melindungi rakyat.
Kita sebagai penghuni masa kini telah diberikan segala hak untuk menegakkan hukum yang telah diciptakan. Dan kita telah diberikan pengetahuan yang lebih dari cukup untuk menguraikan mana tindakan yang benar dan mana yang salah. Jadi tidak ada alasan mengapa kita tidak melakukan itu sebagai hal yang benar. Tetapi, sesuai dengan sifat manusia, kita malas untuk menerjunkan diri ke dalam hal-hal yang dinilai tidak berguna bagi kita. Alasannya banyak. Tidak semua salah. Hanya alasan itu dipakai bukan karena tidak dapat melakukan hal-hal tersebut, tetapi untuk tidak melakukannya. Dengan basis yang sudah diberikan di paragraf ketiga, kita tidak bisa menutup satu mata terhadap kejadian seperti ini. Satu alasan adalah kasus-kasus ini akan terus berjalan sepanjang tidak ada orang yang mencoba menghentikannya. Jikalau semua orang yahudi di Jerman dan Polandia pada masa Kerajaan Ketiga (Third Reich) sudah dibasmi, maka kemungkinan ada orang-orang suku lain atau beragama lain yang ditarget oleh pasukan-pasukan Gestapo. Oleh karena itu, kita perlu menghentikan kejadian seperti ini sebelum mereka tidak terkontrol.

Jikalau kita merasa tertindas oleh orang-orang lain, itu karena kita sendiri sudah mengerti apa arti hak hidup manusia. Secara umum, banyak dari masyarakat yang masih tidak mengerti mengapa mereka hidup seperti ini meskipun mereka tidak bertanya tentang situasi mereka. Lama-lama, mereka akan hidup dengan menerima semua ini karena mereka anggap ini adalah suatu kenyataan yang tidak akan berubah bagi mereka. Sedikit demi sedikit, mereka kehilangan harapan. Jikalau hal ini terjadi, keberadaan mereka sebagai manusia sudah tidak berarti. Harapan adalah satu-satunya perbedaan antara manusia dan binatang. Harapan hanyalah satu-satunya hal yang membuat orang-orang yang tertindas dan berada dalam keadaan susah untuk menjalani hidupnya; dengan harapan bahwa hari esok akan membawa kondisi yang lebih baik.

Kita dapat membawa harapan kepada masyarakat di sekitar dan juga diri kita sendiri dengan cara menjelaskan kepada orang-orang tentang pentingnya menegakkan hak hidup manusia yang telah diporak-porandakan oleh elit-elit politik. Memang tidak akan mudah, karena para elit politik akan mecoba untuk membatas aksi-aksi seperti ini demi melindungi kuasa mereka. Akan tetapi, siapa lagi yang dapat melindungi hak-hak rakyat Indonesia? Negara-negara asing hanya bisa memberikan tekanan kepada pemerintah, layaknya mereka terhadap Iran, atau Korea Utara, tanpa menyerang dan memaksakan ideologi mereka terhadap negara-negara tersebut.

Ini adalah tanggung jawab kita sebagai orang Indonesia untuk melaksanakan tugas yang penting ini. Jikalau kita menyatakan bahwa kita adalah orang Indonesia, kita telah diberikan kesempatan untuk membawa Negara kita tercinta ini ke dalam mata dunia. Kita dapat membuktikan bahwa Negara Indonesia bukanlah negara yang miskin atau lemah dalam pendidikan, tetapi negara yang peduli atas rakyatnya dan mengembangkan potensial masyarakat untuk memajukan negara kita sendiri.

Jeffrey Tanudji

0 comments: