Friday, January 2, 2009

Melihat Indonesia Yang Sebenarnya

Sebagian besar dari kita yang sekolah di Amerika lahir dan dibesarkan di kota-kota besar di Indonesia. Kita telah terbiasa dengan pemandangan kota, gedung-gedung tinggi pencakar langit, kemewahan dan gaya hidup yang ditawarkan oleh perkotaan. Namun gambaran ini sebenarnya hanyalah satu gambaran yang sangat semu tentang Indonesia. Fakta yang sebenarnya adalah Negara kita masih tergolong miskin dan masih banyak rakyat kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun Negara kita ini sangat makmur, namun masih banyak daerah-daerah yang tertinggal.


Di liburan kali ini saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Lamongan, satu kabupaten yang terletak di sekitar Surabaya. Kota tersebut dilewati jalur Pantura yang menghubungkan pelosok Jawa Barat dengan Jawa Timur. Di kota inilah sahabat saya Fadil Putera bersama keluarganya berada. Fadil tinggal di satu desa di sekitar kota Lamongan. Suasana desa ini sangat damai dan tenang. Setiap warga desa kenal satu dengan yang lain dan saling menyapa tiap kali bertemu. Baru kali ini saya berkunjung ke desa, pengalaman ini telah membuka mata saya.


Sebagian besar dari warga desa bermata-pencaharian sebagai petani. Hampir di seluruh pelosok desa bisa ditemukan tambak yang terisi air yang tingginya sepinggang.


Tambak-tambak ini ditanami bibit padi yang dirawat hingga panen nanti. Waktu panen, padi diproses sehingga beras bisa terpisah dari kulitnya dan dibungkus, siap untuk dijual di pasar.

Kulit beras biasanya dijadikan makanan ayam atau dijadikan semacam ‘baygon’ untuk mengusir nyamuk kalau dibakar. Setelah panen biasanya para petani memakai tambaknya untuk memelihara ikan atau udang agar bisa dijual untuk mendapat pemasukan lebih.


Membantu Si Miskin Dengan Membuka Usaha

Fadil pernah berbincang dengan saya tentang pengalamannya dalam satu proyek yang diprakarsai oleh World Bank untuk membantu warga miskin di desa-desa. Salah satu caranya adalah dengan membagikan uang sebesar Rp 500.000 ke setiap kepala keluarga dan berharap mereka akan memakai modal ini untuk berusaha. Tapi akhirnya upaya ini gagal dikarenakan uang yang diterima warga miskin semuanya dipakai untuk membeli kebutuhan pokok. Sebagian besar dari warga miskin ini tidak memiliki keahlian yang bila ditunjang dengan modal yang cukup bisa berkembang.


Para peneliti dari World Bank mungkin tidak pernah terjun langsung ke desa-desa dan menyaksikan apa yang terjadi, sehingga teori-teori yang mereka kembangkan sering kali tidak membantu justru membawa dampak sebaliknya. Fadil sendiri, yang sudah bertahun-tahun tinggal di desa ini lebih mengetahui seluk beluk kehidupan di desa, pengamatan dia yang lebih dalam memberikan dia bekal untuk bisa memikirkan solusi yang kreatif dan kongkrit untuk menolong warga-warga yang miskin.


Upaya yang dilakukannya selama ini adalah dia membeli beberapa ekor sapi yang kemudian dipelihara oleh warga setempat yang dipekerjakan. Satu kerbau ditangani oleh satu pekerja. Pekerjaannya tidaklah membutuhkan keahlian. Paling kerbaunya perlu dibawa ke sungai untuk dimandikan, perlu dikasih makan dan sebagainya. Setelah beberapa bulan sapinya sudah bisa dijual dan labanya bisa dibagi dengan para pekerja.


Kalau kita berpikir secara teori management, efisiensi operasional sangatlah minim apabila setiap ekor dipelihara oleh satu orang, karena satu orang sebenarnya bisa memelihara empat hingga lima ekor sapi. Di sinilah perbedaan usaha yang berupa bantuan dan usaha yang hanya mementingkan laba. Usaha ini lebih bersifat membantu.


Dampak Kelangkaan Pupuk

Dahulu kala petani membuat pupuk sendiri dengan memakai kotoran hewan atau bangkai tanam-tanaman yang sudah hancur. Pada saat orde baru pemerintah mulai menyalurkan pupuk urea yang terbuat dari bahan-bahan kimia. Bila dibandingkan, pupuk urea dapat memberikan hasil yang lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Ini membuat pupuk urea lebih dipilih oleh petani. Namun pupuk ini ternyata merusak tanah dan apabila terlalu sering dipakai bisa membuat tanah menjadi tidak subur, diperlukan masa tenggang untuk mengembalikan kesuburannya lagi.


Pupuk urea ini bisa disamakan dengan candu, sekali dipakai petani akan mau terus. Padahal sekarang pemerintah sudah tidak bisa lagi mendistribusikan pupuk urea ini dengan mudah sebab pemerintah ingin petani bisa mengembangkan pupuk alami sendiri. Yang memproduksi dan yang mengecerkan (distribute) pupuk ini ditunjuk oleh pemerintah dan jumlah diecerkan sangat terbatas. Di sinilah terletak kekurangan mekanisme ini, sebab pengecer ini bisa berkolusi dengan pejabat setempat atau, dengan minat hanya ingin mencari laba, menyalurkan pupuk urea ke desa lain dengan harga yang lebih mahal.


Hal tersebut sering kali hanya membawa keuntungan besar bagi pengecer dan merugikan warga desa. Kadang kala konflik antar desa terpicu karena pada saat satu desa sedang membutuhkan pupuk urea, pengecer menjual pupuk ini ke warga desa yang lain dengan harga lebih mahal.


Entertainment Ala Desa

Apabila di kota ada warnet, di mana kita bisa berkumpul dengan teman-teman untuk bermain multiplayer game, di desa adanya ini…


Inilah multiplayer game bagi bocah-bocah di desa. Sangat sederhana, kreatif dan unik. Dengan bermodal sepeda, tape player dan beberapa alat-alat lain, sepeda ini bisa diubah menjadi sebuah mobile theme park. Anak-anak yang sedang naik sepeda ini dibawa keliling desa sambil menikmati musik. Bocah-bocah di sekitarnya yang melihat mereka jadi kepingin naik juga. Hiburan seperti ini bagi anak-anak desa sudah sangat bergengsi.


Sekian dulu laporan saya. Pengalaman ini menyadarkan saya kalau saya ini telah diberikan sumber daya yang berkelimpahan oleh Tuhan. Kita yang diberikan lebih oleh Tuhan sepantasnya bersyukur dan menghargainya. Terutama bagi orang-orang yang mampu bersekolah di luar negeri, kita sepantasnya menoleh ke belakang dan memikirkan nasib bangsa kita. Kalau teman-teman mau tau lebih banyak lagi mungkin kita bisa ngobrol-ngobrol sama Fadil langsung waktu di Austin. Last but not least, Selamat Tahun Baru 2009 buat anak-anak Austin dan juga yang di Indo.

-Amri Tjahjadi-


0 comments: