Tuesday, September 16, 2008

Masalah

Aku ngerasa kawan-kawan di komunitas Kopi Susu banyak yang sangat berkompeten berbicara tentang isu diskriminasi dan krisis identitas. Kompeten bukan karena telah mempublikasikan berbagai artikel tentangnya, tetapi, lebih dari itu, mengalaminya; menjadi “obyek penderita”. Demikian pula dengan aku, aku merasa sebagai orang yang paling berkompeten dengan isu kemiskinan di komunitas ini. Karena aku adalah bagian dari masalah itu, hidup dan tinggal didalamnya. Merenungi dualisme ini, mengatrkanku hingga sampai pada pemikiran bahwa: “masalah” selalu datang pada manusia, dalam posisi seperti apapun mereka adanya.

Pertengahan bulan September, yang juga pertengahan bulan puasa sebuah tragedy kembali terjadi. 21 orang meninggal dunia di Pasuruan Jawa Timur akibat mengantri pembagian zakat (pemberian uang pada orang miskin) dari seorang kaya di kota itu. Ribuan orang berdesakan berebut uang Rp. 30 ribu perak yang disediakan sang dermawan untuk mereka. Lautan massa bak gelombang tsunami memadati gang sempit tempat uang US$ 3 dibagikan. Mereka saling himpit, sedikit ruang untuk bernapas, lalu mereka pingsan, terinjak-injak. Lalu mati.

Mendengar berita ini hatiku terasa tercabik-cabik. Jumlah uang yang di US bahkan tidak cukup untuk membeli makanan seekor anjing! Di negeriku membuat nyawa manusia melayang.

Siapa yang salah?

Berbagai kalangan dan pengamat telah memaparkan berbagai perspektif mereka di beberapa hari terakhir. Salah satu kelompokmengatakan bahwa ini merupakan bentuk ketidakperayaan masyarakat terhadap institusi-insitutsi yang ada. Ketimbang memberikan uang itu pada lembaga-lembaga resmi seperti Dinas Sosial, Panti Asuhan, masjid, dll si dermawan lebih memilih membagikan sendiri uangnya, yang kemudian berakibat fatal akibat tidak profesionalnya dia dalam mengelola distribusi dana. Kelompok lain menyalahkan factor budaya yang dialamatkan pada budaya tidak tertibnya masyarakat kita dalam mengantri. Serta tidak ada rasa toleransi dan rasa saling mengalah yang berakibat pada gelombang massa yang erangsek maju tak terkedali. Semua orang ingin mendapatkan bagiannya segera: sekarang juga: aku duluan! Yang juga, ujungnya berakibat kematian massal. Ada juga yang menyalahkan pemerintah dan aparat setempat (termasuk kepolisian) yang tidak menyediakan bantuan cukup guna menertibkan kerumunan massa yang sebenarnya sangat mudah diantisipasi kemungkinan terburuk ini akan terjadi. Lebih parah lagi, ada juga yang menyalahkan si dermawan yang cenderung “show off” dalam menunjukkan kedermawanannya, bahkan bisa jadi, kekayaannya.
Apapun itu, tragedy ini telah membuktikan, sekali lagi, potret kemiskinan masyarakat Indonesia yang teramat-sangat parah.

“Ah itukan bukan masalah gue, masalah guwe itu adalah diskriminasi” mungkin pemikiran seperi ini sempat terlintas di benak kita. Beberapa keluarga dan kawan-kawanku juga mati, bukan karena antri uang 30 perak, tapi dibunuh dalam sebuah konflik etnis. Apa bedanya? Toh sama-sama ada yang mati. Kelompok mereka mati karena “masalah” mereka, kelompok ku mati karena “masalah” ku, jadi kenapa kita tidak memikirkan masalah kita masing-masing saja.

Aku tidak akan menyalahkan pikiran-pikiran seperti itu, sebab mungkin memang ada benarnya. Tiap orang punya masalahnya masing-masing dan mereka haru menemukan solusinya sendiri. Analoginya, bagaimana mungkin kita dapat memberikan saran pada seorang juru masak tentang apakah masakannya kurang asin atau tidak kalau kita tidak mencicipinya, tidak merasakannya. Adalah konyol kalau kemudian kita berkata “menurut imajinasiku sepertinya masakanmu kurang garam”. Sehingga,hanya orang-orang yang sudah merasakan masakan itu yang “berkompeten” untuk memberikan solusi untuk perbaikan rasa masakan tersebut. Sebaliknya, bagi yang nggak memakannya atau setidaknya mencicipinya, jangan sekali-kali kasih komentar. Ini adalah sebuah analogy tentang hipotesa: “masalah gue itu urusan gue, masalah lu itu urusan lu”.
Tetapi bagi mereka yang punya idealisme tentu pendapat tentu terasa kurang pas. Karena pikran seperti itu adalah gaya berpikirnya orang-orang ignorant. Tapi kalau dikembalikan ke analogi tadi, siapa sih orang yang nggak ignorat di muka bumi ini. toh orang-orang miskin di Pasuruan itu juga ignorant pada orang kelompok minoritas yang di diskriminasi. Mereka tak pernah peduli betapa sulitnya mencari identitas diri dan identitas ke “Indonesiaan” bagi para warga keturunan. Maka apa salahnya kalau warga keturunan juga ignorat pada mereka? Ignorant di balas dengan ignorant, adil bukan?

Terlebih lagi, hingga detik ini aku pun belum nemuin sebuah “pohon masalah” yang komprehensif yang bisa menjelaskan secara sistematis dan struktural terhadap kesalingterkaitan atas berbagai masalah tersebut. Semua pihak mengklaim bahwa akar amsalah dari semua itu adalah sektornya. Para aktifis lingkungan menganggap persoalan lingkugnan hidup diatas segalanya, aktifis anti-diskriminasi, gender, anti-korupsi, ekonom, politik semua pun demikian. Alih-alih menemukan “pohon masalah” yang didapt justru kompartementalisasi. Yaitu sebuah sikap yang menganggap sektornyalah yang paling penting.

Membuat pohon masalah atas sebuah entitas yang bernama “Indonesia” adalah tantangan terbesarku. Menemukan mana akar, batang dan ranting-ranting masalah. Dengan demikian kita dapat menarik ranting-rnting masalah yang ada menuju satu “batang masalah” yang bersumber dari berbagai akar masalah yang tetapi juga terangkum dalam sebuah simpul disuatu titik tepat diantara akar dan batang masalah.
Kembali kapada pencarian biang kerok tragedi meninggalnya 21 orang di Pasuruan. Pertanyaan “siapa yang salah” tidak menjadi relevan bukan karena pertimbangan moral, tetapi pertimbangan epistemologis. Sebab,pertanyaan tentang “siapa” tidak dapat memberikan solusi secara permanen. Tetapi seharunya adalah “apa masalahnya?” semakin dalam pertanyaan ini diajukan terus menerus akan membawa kita dalam sebuah ranah yang disebut “filsafat”. Karena dalam fisafat akan ditemukan “apa” dari “segala apa”. Pada level itu, sanggahan kuat atas argumentasi-argumentasi pro-ignorancy akan ditemukan. Saat itulah akan muncul anti-thesa atas kompartementalisme yang sama dengan solidarisme dan kolektivisme yang konkret dan material. Karena hanya kesadaran yang materiallah yang dapat diejawantahkan dalam aksi-aksi problem solving yang nyatadan sistemik.

Pentingnya aksi problem solving yang nyata dan sistemik itu penting sebab gerakan charity terbukti tidak menyelesaikan masalah. Kasus Pasuruan, BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan bahkan di US dengan program Rebate Checks (US$ 600 per orang dan US$ 300 per anak) sudah di kritik mayoritas pakar ekonomi dan studi pembangunan. Sekali lagi hal-hal yang bersifat charity adalah sama dengan memberi ointment dipermukaan kulit pada penderita kanker kulit. Mungkin akan menyejukkan sesaat, tapi seriously, hal itu nggak akan pernah menyelesaikan masalah sesungguhnya.

Hhmmhh.... ketika seorang anak bangsa tengah gelisah memikirkan “pohon masalah” bagi bangsanya, atau sedang sedih meratapi saudara-saudara miskinnya yang matidi Pasuruan. Para politisi hari ini tengah berhambur uang miliaran rupiah untuk pasang iklan politik di TV dan “membeli” nomor urut di partai mereka masing-masing. Sementara para pengusaha, ah.. entah apayang sedang mereka pikirkan saat ini...

[fdl]

3 comments:

Handitan said...

Halo Mas Fadil,

Makasih sudah menulis tentang ini kalao ndak, gua sama sekali ndak tao tentang berita ini.
Gua google berita ini dan dapat beritanya dari 'New York Times' (buset bisa masuk NY Times):
http://www.nytimes.com/2008/09/16/world/asia/16indo.html?_r=1&ref=asia&oref=slogin

Gua ada pertanyaan nih yang mungkin mas Fadil atau teman2 yang benar2 mengerti keadaan medan lapangan di Indonesia bisa menjawab.
Kenapa 10,000 orang ini mau merelakan dirinya himpit-himpitan untuk menerima zakat ini? Kenapa mereka harus begitu?
Apakah tidak ada semacam program bantuan yang dapat melatih 10,000 orang ini untuk bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya?

Makasih.

Handi Chandra said...

Thanks sblmnya dah bagi2.
Topik nya menarik tentang masalah dan kompartment2 nya. Tadinya saya sempet bingung, gimana mem-visualisasi kan konsep ini, tapi kalo saya ingat lagi sikap yang saya ambil ketika menghadapi masalah, saya sering kali terjebak untuk mengkotak2an masalah nya. Apalagi kalo masalah itu datang bertubi2.

Setelah kecapekkan sendiri atau diingatkan teman, ternyata ini bukan cara penyelesaian yang baik. Mungkin penyelesaian bakal ada, tapi cepat juga untuk terulang. Atau, ketika masalah lain muncul tanpa tahu masalah itu berhubungan, ya bakal kalang kabut lagi. Seperti cerita gali lobang tutup lobang aja tapi tidak mengakhiri masalah sebenarnya.

Kalo dihubungkan dalam konteks negara, wah terlalu rumit. =p Saya sendiri dalam studi lebih condong untuk menspesialisasikannya. Menular juga ke cara melihat masalah. Buat saya permasalahan infrastruktur dan teknologi transfer di Indo lebih menarik untuk mengambil waktu belajar saya.

Pembukaan wawasan akan masalah2 lain seperti ini lah menurut saya yang perlu terus digalakkan untuk mengetahui letak2 dan hubungannya masalah2 yang ada.

Anonymous said...

Handi (Tan): kalau mau di bilang pelatihan2 sih banyak ya dari dinas2 sosial dan sejenisnya, tapi ya gitu deh.. gak serius, semua hanya memndang event2 itu sebagai project yang ada duitnya.
Handi (Chan): emang ujung2 diskusi soal pohon masalah ini selalu beujung pada pentingnya pendekatakn inter-disipliner. diskusi yang panjang dan terus menerus dari berbagai kompartemen dipercaya ampuh dalam menemukan akar masalah. amiiin...