Friday, August 22, 2008

Pencuri

Oleh: Fadillah Putra

Lelaki tua berselempang sarung, duduk penuh siaga di bukit kecil tepian desa. Tangan kanannya menggenggam segumpal kain hitam. Masih jauh dari subuh, tetapi Mahdun terlihat tegar dan bersemangat. Apa yang akan dilakukan Mahdun dibukit kecil tepian desa dengan kain hitam itu?
Ia hendak mencuri pagi!

***

“Mak. Ayolah, Mak! Ikhlaskan Burhan ke kota, Mak.”
“Apa kurang enak sambal terasi yang tiap hari emak bikinkan untukmu Han?! Atau sudah tak segar lagi air kelapa belakang rumah?!”
“Bukan begitu, Mak...”
“Lalu apa Han? Kau tak sayang Emak lagi? Kau sudah sebal melihat wajah peyot Emakmu ini?!”
Burhan terdiam. Bukan karena kehabisan akal, tetapi bapaknya yang sejak tadi hanya menonton telah memberi kode padanya untuk menghentikan perdebatan ibu anak itu. Mulut Mahdun bergerak-gerak mengatakan “Sudah, sudah” namun tanpa suara, tangannya seperti menekan-nekan sesuatu kebawah berulang-ulang. Sesaat kemudian, isak tangis Ruminah mengantarkan hempasan tubuhnya di peraduan.
Burhan adalah anak kedua dari Mahdun dan Ruminah. Ia anak kesayangan emaknya. Tidak seperti empat saudaranya yang lain, Burhan memang pintar merawat emaknya. Saat Ruminah sakit atau pegal-pegal karena terlalu lama di ladang, Burhan selalu memijiti kaki emaknya sambil bercerita lucu tentang guru sekolah, pak RT, teman atau adik-adiknya. Seringkali pula Burhan membuatkan oseng-oseng kangkung campur teri kesukaan emaknya. Ruminah pun tiap pagi selalu membuatkan sambal terasi yang sangat digemari Burhan. Terkadang Mahdun iri juga melihat kemesraan mereka, tapi Mahdun bahagia melihat ada kedamaian yang Burhan dan Rumniah ciptakan dikeluarganya.
“...anakku sing bagus dewe... Mbesuk gede dadio ksatrio sing gagah prakoso jujur toto susilo... gemuyumu saben isuk sing nyumringahke ati emak, ojo nganti ilang sak lawase...” begitulah senandung yang Ruminah gubah sendiri sebagai pengantar tidur Burhan, si buah hati.
Tetapi saat ini usia Burhan sudah sembilan belas tahun. Ia ingin ke kota, mencoba peruntungan hidup di rantau, sekaligus menikmati gemerlapan kota seperti sering diceritakan teman-temannya.
“Sudahlah, Han. Kau kan tahu, emakmu itu paling tidak bisa jauh dari kamu. Cukuplah mas mu yang di kota. Kau di sini saja merawat ladang.” Mahdun mencoba memberi pengertian.
“Gini lho, Pak. Masak aku mulai kecil sampai sekarang di desa terus. Ya aku pingin seperti teman-teman, ngerti kota kayak apa. Nanti kalau aku ndak betah ya balik lagi to, Pak. Macul lagi sama bapak dan ibu. Tapi ijinkan aku coba-coba dulu ke kota.” kilah Burhan.
“Yo wis le, kalau kamu ngotot kita atur cara biar ibumu mengijinkan kau berangkat. Sebab, kalau ndak gitu bapak yang kena damprat kau ngilang sak enak udelmu dhewe.” Mahdun memberikan jalan keluar.
“Terus piye, Pak?” tanya Burhan.
“Begini caranya le...” tangan Mahdum merangkul pundak anaknya. Mereka berdua berjalan menuju beranda rumah bambunya, terus menyusuri jalan makadam membelah malam. Mereka membicarakan strategi untuk meluluhkan hati Ruminah.

***
“Le, ini emak bungkuskan nasi dan sambel terasi untuk makan dijalan. Terus ini duwit dan anting-anting emak buat sangu kamu. Kalau ada apa-apa jual saja anting emak, yang penting kamu selamat sampai rumah lagi. Nanti tlepon mas mu suruh njemput di terminal. Kamu jangan wira-wiri diterminal, tunggu saja masmu sampai datang. Kamu bawa saja belati kecil bapakmu itu, untuk jaga-jaga kalau ada yang macam-macam. Dua hari lagi kamu harus sudah balik bener lho le. Pokoknya lusa pagi emak tunggu di pagar rumah sampai kamu datang. Ati-ati ya le.” tak henti-henti isak tangis Ruminah menyela nasihat-nasihatnya itu.
“Iya, Mak. Emak nggak usah kuatir, Burhan akan ati-ati seperti pesan emak. Burhan juga nanti pasti ndak sabar pengen makan sambel terasi emak lagi kok.” hibur Burhan. Tapi tangis Ruminah malah makin menjadi-jadi.
“Ya sudah, sudah. Itu dokarnya sudah nunggu dari tadi, kasihan Mas Kandar nunggu kelamaan.” Mahdun menyela.
“Wis ya Mak. Burhan pergi dulu.”
“Ndang balik yo le...” Ruminah menyembunyikan isak tangisnya di punggung Mahdun.
Memang Burhan mengatakan pada emaknya hanya akan dua hari dikota, tapi dalam hatinya, kalau memang ada peluang bagus di kota dia akan terus menetap di sana. Dan akan pulang dua minggu sekali. Kata ayahnya kalau dilakukan seperti itu, emaknya lama-lama akan terbiasa. Semalam Mahdun juga sempat berpesan “Kalau di kota kau cuma jadi kuli batu mending dikampung saja, macul”. Ya!” Jawab Burhan setuju.

***
“Terminal turun sini! Bus nggak masuk terminal!” suara parau kondektur bus menggelegar.
Hampir semua penumpang bergegas turun. Burhan tak tahu apa yang harus ia lakukan. Orang disebelahnya turun. Burhan bingung, ia pun ikut turun. Sudah hampir jam sembilan malam. Ditepi jalan itu Burhan kebingungan, dia ingin bertanya tapi malu. Orang-orang yang turun bersamanya tadi dengan tangkas satu persatu naik berbagai angkutan kota beraneka warna. Burhan masih kebingungan. Ia menoleh kanan-kiri mencari telpon umum yang seperti di film-film layar tancap. Tapi tidak ada telpon umum, telpon-telpon umum sudah digantikan Wartel. Ia tak tahu apa itu Wartel. Burhan berjalan sedikit ke kiri. “Ha! Itu dia.” Ia melihat kotak telpon umum. Dihampirinya, namun ia bingung di mana harus memasukkan uang receh seratusan. Memang tidak ada lubang itu, karena telpon koin sudah digantikan telpon kartu atau chip. Burhan bingung lagi. Baru kemudian ia rasakan agak pusing kepalanya, sehingga muncul keinginan untuk sekedar secangkir kopi.
Dilihatnya warung remang-remang diujung pagar beton. Dengan penuh keyakinan Burhan melangkah menuju warung tersebut. Nampaknya ini adalah langkah terakhir yang ia lakukan dengan penuh keyakinan.
“Makan, Mas?” suara cempreng penjual warung nan gemuk.
“Ndak mbok, saya mau kopi anget saja.” jawab Burhan singkat.
“Wah, cah bagus senang yang anget-anget ya?” kelakar mbok gembrot.
“Iya.” jawab Burhan polos.
Spontan semua orang seantero warung terpingkal-pingkal. Burhan masih tidak mengerti apanya yang lucu. Ia hanya senyum-senyum saja, lalu melihat sekeliling. Di kursi pendek dekat kompor duduk empat orang lelaki sedang main kartu sambil sesekali mengumpat. Tiga perempuan umur empat puluhan, berkaos ketat hingga nampak lipatan-lipatan perutnya, duduk di bongkahan beton setengah meter samping kanan warung. Di sebelahnya dua orang pemuda hitam legam berambut kemerahan senyum-senyum sambil menunjuki tiga perempuan tadi. Dibelakang Burhan, tertutup kain warung, terdengar suara kemresek, dan bunyi “Ah. Uh. Ah. Uh!” Burhan tak mengerti.
Lima belas menit, kopi pun tinggal setengah. Burhan bermaksud bertanya pada mbok gendut tentang keberadaan telpon umum. Tapi...
“Garu’an! Garu’an!”
Burhan kaget setengah mati. Mendadak sontak semua orang pontang-panting. Dari belakangnya tiba-tiba menyembul seorang lelaki yang langsung kabur tanpa celana. Burhan bingung, ikut lari!
Tak sampai dua meter Burhan ketangkap, orang-orang berbaju hijau mentah menggeledah tas Burhan.
“Ada pisau!” teriak pak Kumis
“Bawa!”

***

“Dasar bocah kampung edan! Sana, masuk truk!” bentak pak Kumis.
Di kantor polisi Burhan ditanya macam-macam oleh pak Kumis. Ia sangat takut, wajahnya pucat pasi seperti pantat sapi pak Renggo di desa. Tak satupun pertanyaan pak Kumis dijawabnya dengan baik. Burhan hanya mampu bilang inggih, mboten, dan kirangan. Ya, hanya tiga kata itu yang sanggup keluar dari mulutnya.
Burhan dipapah dengan kasar, lalu dijungkalkan kedalam truk bercampur puluhan preman, gembel, pelacur, begundal, begajul dan sebagainya. Lantas, truk bergoyang-goyang melaju entah kemana.
“Turun! Pada minggat sana!” sentak pak Kumis sesampainya mereka di kelokan jalan aspal seperempat jam perjalanan dari kantor polisi pamong praja.
Semua orang berhamburan, termasuk Burhan. Ia lari sekencang-kencangnya tak tentu arah. Sampai di dekat gudang tua ia ambruk kelelahan. Tas bekal dari emaknya masih didekap. Ia pun tertidur. Jam setengah dua malam.
“Brak!” punggung Burhan tiba-tiba disepak sangat keras.
“Mana duwit mu!” pemuda gondrong menyentaknya.
Burhan diam, wajahnya kecut. Spontan, ia mendekap tasnya erat-erat.
“Ambil tasnya!” sentak dua orang teman pemuda gondrong.
Si gondrong lantas menarik tas dari dekapan Burhan. Burhan melawan. Ia meronta-ronta. “Plak!” tak sengaja kakinya mengenai wajah si gondrong.
“Bocah asu! Tak pateni kamu!”
Si gondrong mengambil potongan kayu. Dipukulnya kepala Burhan keras-keras. Teman-temannya ikut menghajar ramai-ramai. Darah Burhan mengucur di sana-sini tak keruan. Tendangan masih terus melaju, perut dada, kepala!
Burhan tersungkur, tubuh kurusnya berguling masuk selokan kering. Berkelejotan sebentar. Burhan mati.

***
Sudah tiga bulan Ruminah setiap pagi selalu berdiri dipagar rumah. Sesekali kakinya jinjit-jinjit berusaha dapat melihat jauh keujung gang. Setelah agak siangan ia masuk kegubugnya, lalu ke dapur dan membuat sambal terasi. Dipojok dapur lusuh itu ada sekitar seember sambal terasi yang telah busuk mengonggok.
Selepas senja, Ruminah duduk di dipan beranda rumah sambil bersenandung “...anakku sing bagus dewe... gemuyumu saben isuk sing nyumringahke ati ibu, ojo nganti ilang sak lawase...”
Kalau Mahdun tak membujuknya mati-matian, sampai pagi pasti Ruminah akan terus begitu, utuk kemudian kembali menuju pagar. Adik-adik Burhan telah hampir dua bulan ini ikut anak tertua mereka di kota. Kakak Burhan hingga hari ini pun masih tidak mengetahui di mana keberadaan adik laki-lakinya itu.
Suara gemeletak yang muncul dari deritan tempat tidur Mahdun tiap fajar, terdengar ditelinganya seperti bunyi kiamat. Sudah sembilan puluh hari suara gemeletak itu muncul mengiringi istri gilanya yang tercinta berhambus kepagar. Menunggu kedartangan anak kesayangan yang tak akan pernah tiba. Setiap fajar hati Mahdun seperti disayat-sayat. Air matanya selalu menitik, rasa bersalah menyelimuti. Kalau saja ia tak mengijinkan Burhan pergi, Ruminah tak akan seperti ini.
Kakak Burhan pernah menawarkan untuk memasukkan Ruminah ke rumah sakit jiwa, ladang dijual dan Mahdun tinggal dirumahnya. Mahdun menolak. Janji tiga puluh tahun lalu untuk hidup bersama, masih lekat di lubuk hati Mahdun.
Malam ini Mahdun sudah tak kuasa lagi melihat derita istri tercintanya.
“Besok akan kucuri ‘pagi’! Agar Ruminah dapat kembali waras seperti dulu!” katanya dalam hati.
***
Mahdun sudah siap dengan kain hitamnya. Sebentar lagi fajar menyingsing. Perlahan-lahan dibentangkannya kain hitam itu. Tangan kanannya lurus dengan bahu, sedang yang kiri bersedekap. Keduanya memegang ujung kain, persis seperti matador.
Satu, dua, tiga detik kilap matahari mulai menyembul.
“Yap!” satu kali hentak kain hitam mengembang menyelimuti kilap fajar!
Lalu digulung-gulungnya kain hitam itu sehingga tak sedikitpun celah bagi ‘pagi’ untuk bisa keluar. Mahdun pulang dengan ceria. Terbayang dibenaknya wajah manis Ruminah yang waras dan penuh gelegak emosi seperti dulu.
Setiba dirumah, ia melihat Ruminah sudah dipagar sembari sesekali menjinjit. Lalu kedapur untuk membuat sambal terasi.
Esok malamnya, Mahdun kembali keluar dengan membawa kain hitam menuju bukit kecil ditepian desa.


Bandar Lampung, April 2003

2 comments:

Melissa said...

Mas, ini based on true story? Sedih amat nasib si Burhan.

Anonymous said...

bener2 true story sih nggak... dulu waktu sering kumpul sama anak2 di rumah singgah cerita2 seperti ini jamak sekali. Nggak sampai mati sih, cuman banyak anjal yang sampe gak tahu dimana orang tua mereka berada. Kalau udah nonton film "Daun di Atas Bantal" pasti deh kamu dapet gambaran secara umum.