Saturday, August 16, 2008

Nasionalisme: Penting ya?

Sabtu petang di ujung semester musim panas. Ketimbang pergi ke downtown, menelpon beberapa kawan untuk menenggak minuman surgawi, atau nonton TV dan menggelembungkan diri dengan potato chips; kuputusin malam ini untuk bersemayam saja di kamarku yang permai. Menuliskan rasa, untuk tempat bermainku yang baru: Kedai Kopi Susu!

Hari keenam belas di bulan Agustus. Pasti di kampungku sekarang sedang meriah-meriahnya anak2 pada lomba panjat pinang, makan kerupuk, membawa kelereng di atas sendok, tak lupa makan-makan bersama tetangga di malam tirakatan. Panggung hiburan dengan musik dangdut dan campursari yang sensasional menambah rasa gegap gempitanya sebuah perayaan. Aku selalu kalah dalam setiap pertandingan waktu itu, saat pulang hanya tubuh lengket berkalang debu yang didapati ibuku ketika membukakan pintu rumah untukku. Masa kecil... seperti baru kemarin.

Hmmm... besok siang, tanpa kerupuk, tanpa pohon pinang, tanpa upacara bendera, kami di Austin akan merayakannya juga.

“Perayaan. Perayaan apa?! Kemerdekaan. Merdeka apanya?!”

Pertanyaan seperti itu kerap terlontar pedas dari mulut para intelektual. Terlebih dengan melihat kenyataan: masih banyaknya penggusuran di mana-mana, anak miskin tidak bisa sekolah, Korupsi, konflik antar suku, aktifis diburu, di siksa dan bahkan dibunuh. (Hari ini belum genap seminggu Romo Benny Susetyo (aktifis HAM sekaligus mentor aku dalam dunia pergerakan terkapar di rumah sakit akibat gebukan ‘orang tak dikenal’). Lalu mereka berkata: “kita belumlah merdeka!”

Bagiku sekarang pernyataan-pernyataan seperti itu terlalu berlebihan. Sebab negara mana dikolong jagat ini yang’merdeka’ kalau standar kemerdekaan yang dipakai semacam itu. Kolombia sampai hari ini masih terjadi perang saudara, kasus korupsi di PEC sebagai koperasi terbesar di US masih menjadi headline, di Brasil brutalitas polisi terhadap kaum miskin kota Sao Paolo makin sadis, di Rwanda pembantaian suku Tutsi oleh suku Hutu masih menghantui, China dengan kontrol ketat pemerintah atas akses internet, dll. Jadi semua negara di dunia ini tidak [belum] ada yang merdeka?

Oleh karenanya, dari pada ngomongin “kemerdekaan” aku lebih tertarik ngomongin topik usang saja: Nasionalisme! Kenapa usang? Sebab sejak SD sampai kuliah berbagai penataran P4, PSPB, Kewiraan... (sorry kalau istilah2nya terlalu jadul/ kata kawan dari Jogya: Jadul=Janda Gunung Kidul) semuanya udah mencekoki tentang penting dan luhurnya sebuah nilai yang disebut Nasionalisme. Dari beberapa tulisan dan diskusi2 yang berkembang di kalangan mahasiswa-mahaiswa Indo di luar negeri (terutama di Austin) juga sempat mengemuka tentang pentingnya mencintai nasionalitas kita. Mencintai sebuah organisasi yang bernama: Indonesia.

Emang penting ya?

Pendidikan adalah alat pencerdasan sekaligus alat pembodohan adalah benar. Contoh, semenjak sebelum keluar dari Indonesia, aku kira agama di dunia itu cuman Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Tahu juga sih ada agama yang namanya Yahudi, tapi itupun dengan konotasi yang jelek amat. Pengetahuan tentang agama Yahudi itu seolah-olah agama ini sebagai aliran sesat. Tetapi setelah sampai sini, bertemu dengan orang-orang dari Israel dan beragama Yahudi ternyata mereka ya biasa-biasa aja. Pun pendidikan di Indonesia tida pernah mengenalkan ada agama Bahai misalnya. Masih banyak contoh-contoh lain tentang bagaimana pendidikan menjadi alat pembodohan yang bisa kita temui kalau sabar menelisiknya satu persatu. Nah, nasionalisme rupanya juga salah satu proyek pembodohan dalam pendidikan itu.

Dalam banyak literatur di studi-studi politik internasional dan studi postkolonialisme, nasionalisme merupakan sebuah hot topic. Tetapi secara mengejutkan rupanya term ini selalu saja dibicarakan dalam konteks negatif. Bennedict Anderson misalnya, dalam bukunya yang amat kesohor “Imagine Community”, mengatakan bahwa nasionalisme itu adalah produk penjajahan (Western) yang paling besar. Sebab di dalam nasionalisme itu terkandung adanya budaya sentral (modular form) yang mengontrol perkembangan masyarakat pinggiran (periphery). Bagaimana mungkin, katanya, seorang anak di Papua yang gak pernah ketemu dan berkenalan dengan seorang anak di Aceh (bahkan berbahasa dan bergaya hidup sangat berbeda) bisa sama-sama menggenggam identitas yang sama: anak Indonesia?! Itu absurd dan hanya berada pada dunia imajiner.

Pemikir2 postkolonial revolusioner semacam Julia Kristeva dan Partha Chaterjee juga sempat menggugat pemimpin-pemimpin yang menggunakan kekuatan term nasioalisme untuk memanipulasi kesadaran rakyat agar mau berperang, adu nyawa demi kepentingan elite.
Nasionalisme juga telah membungkus otak para pengikutnya untuk menuruti sebuah standard normal dari sebuah bangsa tertentu yang seringkali paradoks. Contoh konkretnya, kembali ke soal agama, di Indonesia hanya di kenal 5 agama (sekarang mungkin sudah 6). Dan parahnya, semua agama yang diakui itu adalah agama-agama import, yang secara sistematis dan formal membunuhi keberadaan agama-agama asli bangsa-bangsa di Indonesia. Kasus yng terjadi di Tengger misalnya, para pengikut Ajisaka (yang hidup di tahun 500an Masehi), dipaksa oleh negara untuk memeluk agama Hindu karena alasan yang konyol, “sorry... agama kalian tidak ada dalam daftar!” Hal yang sama juga terjadi di suku Kaharingan di Kalimanatan, Badui dan aliran kepercayaan di Jawa.

Bangsa (Nation), Negara (State) dan kepentingan elite telah bertumpang tindih yang kemudian memproduksi buku-buku sejarah yang hadir di ruang-ruang sekolah. Yang mungkin juga turut membahana bersama alunan musik dangdut di panggung-panggung 17 Agustusan di kampung-kampung.

Indonesia adalah negara bangsa. Itu adalah pernyataan yang selalu di dengung-dengungkan. Ini sekali lagi adalah sebuah bentuk pembelokan dari proses pendidikan formal kita. Kalau ngeliat penjelasan di buku-buku politik (yang paling nonjol Alexander Wendt misalnya) keliatan banget bahwa negara-bangsa (nation-state) itu adalah sebuah negara yang didirikan berdasarkan kesamaan kebangsaan. Dan bangsa itu tidak lain dan tidak bukan adalah bangsa Jawa, bangsa Minang, bangsa Dayak... nggak ada bangsa Indonesia, yang ada adalah Negara Indonesia. Kata si Wendt Indonesia itu bukanlah nation-state tetapi international-state, negara yang terdiri dari kumpulan/beberapa nation. Seperti juga Amerika Serikat, tidak pernah ereka meng-klaim diri sebagai nation-state karena kenyataannya emang bukan.

Lalu kenapa elite kita koq ngotot banget mengatakan bahwa Indonesia adalah nation-state? Inilah kepentingan elite yang tadi sempet dibilang sama si Bennedict Anderson, ini pula yang dilakukan para pelaku-pelaku kolonial terhadap koloni-koloni mereka.

Lalu apa artinya “Mencintai Indonesia”? Apakah ada nasionalisme Indonesia? Apa pentingnya menjaga keutuhan dari Sabang sampai Merauke, dari Kupang samapai ke Talaut? Apa pentingnya teriak-teriak sampai serak nyemangatin Taufik Hidayat? Kalau ternyata semua itu hanya untuk melanggengkan kekuasaan elite?

Apa pentingya Indonesia dapat ratusan emas kalau ratusan juta orang hidup miskin? Apa pentingnya negara besar tapi korupsinya juga lebih besar? Apa pentingnya Garuda tegak perkasa bila masih banyak anak-anak jalanan yang menghirup gas racun dari kaleng lem cap Radjawali?

Ini bukan pertanyaan tentang arti kemerdekaan, ini adalah pertanyaan tentang arti Indonesia.
Pertanyaan tentang “apakah kita sudah mencintai sesuatu yang benar dan dengan cara yang benar pula?”

Seperti aku udah bilang sebelumnya, mencintai Indonesia itu nggak lebih dari sekedar mencintai sebuah organisasi belaka. Kayak kita mencitai RT kita, mecintai sekolah kita, atau mencintai blog kita. Masih ngiblat sama si Anderson, kecintaan kita pada komunitas, keluarga, kawan-kawan itu jauh lebih sejati ketmbang kecintaan kita pada negara yang sebenarnya hanyalah imajiner. Ada ratusan negara di dunia ini... ternyata mereka semua “menjadi dan ada” hanya karena sebuah khayalan...

Lalu aku sempat berpikir bahwa daripada capek2 ngomongin nasionalisme yang absurd itu, kenapa nggak ngomong yang konkret-konkret aja; seperti mbantu anak putus sekolah, layanan kesehatan untuk orang miskin, berantas korupsi, jaga kerusakan lingkungan hidup dari para pebisnis serakah, dll. Bukanya melakukan hal-hal itu lebih asik dan nggak ada dilema moral di dalemnya? Bukankah hal-hal riil itu lebih penting ketimbang ngurusin nasionalisme????

Ups... masalah belum kelar sampe di situ doang rupanya. Beberapa kawan di blog ini udah nyampein betapa parahnya ketidakpedulian sebagian kita (yang hidup beruntung bisa kebetulan lahir dari rahim orng kaya) terhadap Indonesia. Mereka hidup cuman foya-foya, cengengesan sana-sini, dan hanya akan menangis kalau diputusin pacar. Apa betul kita butuh nasionalisme dalam menghadapi soal-soal seperi mereka ini? Atau tentang aliran duit dari Indo ke US yang tidak mendapatkan pembalikan sepadan karena brain drain, tahun 2004 saja tercatat ada 9,000 mahasiswa Indo di US. Diambil rata2 tuition fee 20,000 dan living expenses 1,500 perbulan (stadard minimum mhs UT Undergrad) makatiap semester ada sekitar $234 Juta ngalir dari Indo ke US!!!! Jadi setahun bisa hampir $1 Miliar! apakah dengan adanya fenomena ini “Nasionalisme” yang semula gak penting jadi penting lagi? Beberapa penulis pro-nasionalisme bilang kalau suksesnya Korea Selatan sama India (yang ini masih dlm proses sih) akibat danya kecintaan para mahasiswa yang kuliah di US di tahun 70an-80an untuk cepat2 balik setelah selesai belajar dan ngebangun negaranya. Jumlah mahasiswa Korea di US ada enam kali lebih banyak dari Indo, itu berarti mereka masukin duit dari Korea ke US juga enam kali lebih banyak, tapi sekarang mereka udah menikmati hasilnya. Sementara kita, apa kembalian yang kita dapet setelah “nyumbang” Amerika segitu gedhe tiap tahunnya?? Itulah kira-kira argumentasi para pro-nasionalis.

Fakta-fakta kontemporer semacam itu seolah kembali mengukuhkan bahwa nasionalisme bukan lagi soal khayalan atau imajinasi seperti yang dibilang Anderson, nasionalisme udah nemuin dunia realitasnya. Aku setuju, tapi bukan pada alasan itu aja.

Bagi aku, nasionalisme adalah soal menjadi anggota sebuah organisasi yang baik aja. Nasionalisme bukanya soal “right or wrong is my country” karena itu adalah nativisme. Nasionalisme juga bukan musuhnya internasionalisme (seperti gerakan agama dan kemanusiaan). Nasionalisme bagi aku adalah wilayah otoritas sebuah organisasi yang bernama negara untuk ngedistribusiin sumberdaya yang dia punya dan menyejahterakan anggota-anggota [baca:warga negara] nya. Mencintai negara Indonesia itu: sebagaimana mencintai RT kita, maka ikutan ronda biar ga ada maling masuk kampung. Sebagaimana mencintai sekolah kita, kita jaga nama baiknya biar gak terkenal sebagai sekolah yang tukang tawuran. Sebagai warga sebuah blog yang baik.. yaahh... nulislah sesuatu untuk blognya meskipun ngelantur kesana kemari: yang penting seru!

Pizz..Merdeka!

Oleh: Fadhil Putra

2 comments:

Rifki Akbari said...

Lebih penting, semua manusia di bumi ini bisa makan. Terpenuhi semua kebutuhan dasar mereka.. orang-orang kelaparan di Ethopia, orang-orang yang terjebak perang di Iran, bayi-bayi kurang gizi di Flores..

Salam kenal,
knowing your blog from our leader in Melbourne, Zubeth

Unknown said...

kalo punya bukunya Alexander wendt ttg konstruktivisme dong...
aku mintaa :)