Saturday, August 16, 2008

Kabar dari Austin

Pukul 7:30 pagi, menjelang Fall season udara Austin terasa sejuk segar persis seperti di Malang pada bulan-bulan yang sama. Di hari kerja, pagi begini, biasanya saya sudah siap-siap mandi untuk berangkat kuliah pagi. Tapi minggu ini, ditemani kopi Aceh sisa semalam, saya duduk didepan mesin ketik menuliskan “kabar dari Austin” untuk pembaca sekalian yang budiman dan sangat saya rindukan.

Entah karena rasa rindu akan Malang yang begitu menyengat atau apa, tapi setelah empat bulan tinggal di Kota Austin, saya merasakan banyak kemiripan antara kota ini dengan Malang tercinta (tentu saja di tengah banyaknya perbedaan). Perasaan ini pulalah yang membuat hati saya tergerak untuk menuliskan beberapa kisah yang sempat singgah di mata dan telinga saya, untuk saya bagikan. Kalau tidak dapat dijadikan sebagai sumber insiprasi, setidaknya tulisan ini dapat menjadi teman menyantap sepiring nasi jagung, pecel dan secangkir teh hangat.

Austin memang ibukota nagara bagian Texas, salah satu negara bagan terbesar di US, tapi bukan berarti ia merupakan kota terbesar di Texas. Bisa di bilang ia merupakan kota terbesar keempat di negara bagian ini setelah Houston, Dallas dan San Antonio. Dengan jumlah penduduk berkisar 800 ribu jiwa, menjadikan Austin pantas di sebut sebagai minipolitan. Aktivitas harian masyarakat cukup dinamis tetapi tidak bising, kondisi jalan kota yang cukup sibuk tapi tak ada kemacetan yang berarti serta polusi yang bertaraf sedang di tengah beberapa industri yang berjalan menggerakkan ekonomi kota. Deskripsi di atas sangat mirip dengan keadaan yang ada di Kota Malang, beberapa kalangan pun menyebut Kota Malang sebagai minipolitan. Yakni sebuah kota dengan fasilitas metropolitan minus kepadatan, kebisingan dan keruwetannya.

Seperti juga Malang, Austin merupakan kota sasaran bagi para penduduk yang mencari tempat bermukim yang nyaman. Udara yang sejuk, kondisi kota yang masih relatif rindang, tempat wisata alam yang segar dikombinasi dengan fasilitas modern seperti pusat perbelanjaan dan layanan finansial yang nyaman. Hal ini pulalah yang menyebabkan bisnis property di Austin juga merupakan salah satu sektor bisnis yang paling menggiurkan bagi para investor utamanya di bidang properti. Rumah yang kami sewa memiliki tiga kamar, satu kamar mandi, ruang tamu dan dapur, untuk itu kami harus membayar $1195 perbulannya atau sekitar Rp 11 juta rupiah! Sebelumnya, waktu tinggal di apartemen dengan ukuran kamar yang sangat kecil (+/- 3,5 m2) - hampir sebentangan tangan saja - saya harus merogoh uang beasiswa hingga $430 perbulan (+/- Rp. 4 juta). Itu semua belum termasuk jaringan internet, listrik, air dan sampah, yang kira-kira perbulannya total harus membayar Rp. 500 ribu.

Terdengar tak masuk akal? Tapi jangan salah, kondisi dan fakta-faka makro ekonomi jelas harus di pertimbangkan, misalnya standard gaji minimum di sini berkisar $1,000 (dengan asusmsi $6/jam fulltime) atau Rp 10 juta sedangkan di Indo hanya Rp 700 ribuan. Sebungkus rokok Marlboro di sini berkisar Rp 50 ribu perbungkus. Dsb dst.. tetapi setidaknya itulah ilustrasi bagi kawan-kawan yang berkeinginan sekolah ke Austin dengan biaya sendiri. Atau bagi mereka yang coba-coba berkalkulasi berapa banyak duit yang harus di rogoh para orang tua yang menyekolahkan anaknya di US. Atau lebih jauh lagi, mungkin bisa membantu menjawab rasa penasaran berapa banyak duit Indonesia yang di sedot US tiap bulannya dengan bisnis pendidikan yang mereka jalankan...

Tidak hanya karena suasana kota yang sejuk dan nyaman. Secara sosial, suasana akademik dan kedewasaan cara beripikir dan intelektualitas masyarakat Austin cukup tinggi. Buktinya adalah ditengah konservativisme Texas yang cukup terkenal, Austin adalah sebuah perkecualian. Contohnya, konservativisme masyarakat Texas umumnya tercermin dari sikap yang kurang welcome dengan pendatang, rasisme, US sentris, dan fanatisme agama. Sikap-sikap konservatif tersebut sukar ditemui di Austin, sehingga membuat Austin sangat nyaman bagi kulit putih, hitam, kuning, maupun sawo matang yang agak kusam seperti saya.

Mengapa masyarakat Austin begitu berbeda dengan masyarakat Texas pada umumnya? Sebagian orang yang saya temui di sini dengan mantap menyebut karena adanya kampus-kampus (terutama UT Austin) yang sudah hidup dan bergesekan dengan masyarakat lebih dari 100 tahun. Hmm... bagaimana dengan keberadaan Universitas Brawijaya, Unmer, Unisma, UMM, dsb di Kota Malang. Tentu telah pula memberi dampak positif baik secara ekonomi dan sosial pada masyarakat Malang pada umumnya, toh?

Kalau di Malang kita punya Waduk Selorejo, Payung, Kebun Teh Wonosari, Wendit, dll, di Austin mereka punya Town Lake (Barton Spring), sumber mata air yang dikelola menjadi kolam renang, ada jogging track dan kano/persewaan sampan.... ini pula yang membuat di setiap weekend jalur dari kota-kota besar terdekat seperti San Antonio maupun Houston ke Austin cukup padat, sebaliknya pada minggu sore, banyak kendaraan yang meninggalkan Austin menuju kota-kota tersebut. Kalau anda sulit membayangkan kondisi ini, ingat-ingat saja bagaimana setahun lalu, sebelum malapetaka lumpur Lapindo terjadi, di jalur Malang – Surabaya mulai dari Singosari sampai Lawang selalu terjadi kemacetan di Jumat petang atau Sabtu pagi dari utara ke selatan, sebaliknya terjadi pada Minggu sore atau Senin pagi.

Bedanya hanya terletak pada fasilitas jalan saja, karena di Amerika ada jalan tol yang sifatnya ‘intercity’ (antar kota) dan ‘interstate’ (antar negara bagian). Sehingga selalu ada laternatf bagi penguna jalan untuk memilih apakah akan memakai jalanan kota atau masuk jalan tol. Sejauh pengetahuan saya dalam mengunakan jalan tol di Austin gratis. Karena jalan disediakan oleh pemerintah dan bukan merupakan salah satu sektor bisnis seperti di indonesia. Kondisi jalannya sendiri sebenarnya tidak lebih baik dibandigkan jalan tol Gempol-Bunder, malah saya rasakan jalan tol Gempol-Bunder jauh lebih mulus dibandingkan jalan tol di sini. Memang cara yang lebih murah dan efesien untuk kasus Malang menghadapi efek bisnis wisata dan kemacetan ini adalah pembangunan ringroad atau flyover di tengah tersendatnya pembangunan jalan tol Malang – Surabaya.

Townhall meeting atau pertemuan masyarakat kota untuk membahas topik-topik tertentu terkait dengan problematika yang ada di kota dan berkaitan dengan kepentingan umum, juga sering terjadi. Pengumuman tentang adanya townhall meeting ini tersebar melalui berbagai fasilitas, seperti koran lokal, radio, flyer, dan saya juga sering mendapat email tentang kegiatan ini (mungkin karena saya mengambil jurusan kebijakan publik maka jurusan saya mendaftarkan email kami ke administasi kota) sayangnya, hingga saat ini saya belum sempat mendatangi town hall meeting tersebut karena masih harus berurusan dengan menumpuknya kuliah, tugas, kuis, makalah, dsb.

Kalau anda berjalan-jalan ke Splendid depan Balai Kota Malang tentu anda akan merasa gembira karena dapat melihat burung aneka rupa dan tupai-tupai yang lucu. Di Austin anda akan menemui suasana seperti di Splendid tersebut hampir di setiap sudut kota. Perbedaannya cuma satu saja, kalau di Splendid burung-burung dan tupai itu di dalam kurungan, kalau di sini mereka bebas beterbangan dan berlarian dijalan, taman kota bahkan pekarangan rumah kita. Untuk mendengarkan kicauan burung yang indah saya tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam hingga ratusan ribu atau bahkan jutaan. Saya cukup bawa kursi plastik saya ke patio (pekarangan belakang rumah), secangkir kopi dan buku kesukaan, cukup; lalu burung-burung itu akan berkicauan silih berganti menemani teduhnya suasana sore atau pagi hari saya. Tapi hati-hati kalau bawa roti atau snack, kalau anda lengah si tupai-tupai nakal bisa loncat dan hup! Mengambilnya dari meja anda. Ini bukan rekaan, ini benar-benar terjadi. Bahkan menurut sahabat yang tinggal di daerah barat kota (far west), sekitar 7 kilometer dari downtown, pada malam hari rusa liar masih berkeliaran di pekarangan-pekarangan rumah atau jalan-jalan kecil di lingkungan itu.

Penyatuan yang sempurna antara manusia, kota, burung,rusa dan tupai-tupai. Mungkin sebagian kita akan berpikir bahwa itu tidak mungkin terjadi di Indonesia, atau di Malang. Orang-orang kita pasti akan menembaki tupai dan burung-burung itu kalau mereka berseliweran di kota. Atau mereka akan menangkapnya lalu menaruhnya dalam kurungan. Pertanyaan saya, sejak kapan sebenarnya masyarakat kita menjadi begitu kejam terhadap binatang-binatang lucu ini?

Masih banyak cerita yang hendak disampaikan, masih banyak kerinduan yang hendak dikenang, atau suka dan derita yang hendak dibagi. Dari Austin, Malang terasa begitu dekat untuk dilihat. Bukan untuk dijiplak, dicangkok apalagi (istilah anak-anak sekarang) di-copy paste, atas apa yang terjadi di Austin dengan Malang. Bukan pula Amerikanisasi yang hendak dicapai, sekedar berbagi cerita saja; ketimbang melamun saat sedang menyantap nasi jagung dan teh hangat...

Oleh: Fadil Putra

0 comments: