Saturday, September 6, 2008

Tan Hong Ming: Jatuh Cinta

Hari ini saya diingatkan tentang isu perbedaan suku dan ras. Menurut saya, ras saya agak aneh, sehingga kadang-kadang saya suka krisis identitas. Dibilang Cina, ya bukan, dibilang Melayu, tidak bisa juga, karena besarnya mata saya dan warna kulit saya berkata lain.

Dulu, waktu masih tinggal di Jakarta, kebanyakan tetangga-tetangga saya dan teman-teman di sekolah memanggil saudaranya dengan cici dan koko. Saya pernah ditanya, kenapa kok saya panggil saudara saya "kakak". Waaah, kenapa ya, saya juga ga tau tuh. Memang sejak dulu sudah terbiasa panggil kakak, mau diapain lagi. Tapi pernah, mungkin karena bingung dan ingin tidak terlihat lain dari yang lain, saya coba-coba panggil kakak saya dengan "cici". Yang pasti, saya sendiri langsung berasa aneh, malu, dan tidak berani lagi ganti-ganti panggilan.

Kemudian, pas kelas 4 SD, saya pindah ke Riau. Sempat harus adaptasi lagi, karena di sana, kalau kakak perempuan dipanggil kakak, tapi kalau laki-laki, harus dipanggil abang. Tidak boleh Mas, Kang, apalagi Kak, pokoknya harus Abang. Jadilah saya memanggil semua kakak kelas yang laki-laki dengan Abang. Sedikit lega juga, karena kalau saya beneran ganti panggilan kakak saya jadi cici, saya akan jadi satu-satunya orang aneh di sana. Sekitar SMP kelas 1 atau 2, baru saya mengenal konsep Cina dan Pribumi. Ketika itu juga baru saya sadar, kalau saya ini benar2 minoritas: hanya 3 orang Cina saja di SMP saya. Di umur-umur segitu, mulai ada beberapa orang yang menanyakan, "Kamu Cina, ya?" Termasuk salah satu guru saya. Tidak ada yang salah sama sekali dengan itu, saya pun tidak pernah tersinggung dan tidak merasakan diskriminasi sama sekali. Masa SMP adalah masa-masa yang membahagiakan buat saya. Cuma satu aja pertanyaan yang saya tujukan kepada mereka yang kepengen tau ras saya: Emang penting ya???

Tapi ternyata setelah saya tambah besar dan tinggal di Singapur, saya menyadari bahwa ras itu lumayan penting! Saya suka gondok ketika supir-supir bus atau taksi dengan cueknya mengajak saya berbicara dengan bahasa Mandarin... Sering kali dengan suara kecil dan terbata-bata karena takut salah, saya membalas,"Wo bu hui zhang huayi." Sampai sekarang saya kurang tau bagaimana cara tulisnya, tapi pokoknya saya bilang begitu. Satu-satunya jurus Mandarin yang yang paling sering saya keluarkan: Saya tidak berbicara bahasa Mandarin. Lalu, biasanya mereka bilang dengan bahasa Inggris, "Wah, kamu orang Cina kan? Harus bisa ngomong Mandarin! Kok bahasa ibu sendiri tidak tau... bla bla bla.." Intinya memberitahu bahwa saya ini adalah anak yang lepas dari kebudayaan nenek moyang, seperti kacang lupa kulitnya, seperti buah yang entah kenapa jatuh jauh dari pohonnya. Biasanya, generasi tua yang sering menceramahi begitu. Kalau lagi mood, ya saya ladeni sebisanya, memberikan gambaran latar belakang, yang intinya Cina saya sudah kelunturan. Kalau lagi malas, ya saya iya iya-in aja, dengan harapan dia bosen ngoceh.

Meskipun sedikit jadi krisis identitas seperti itu, saya secara pribadi belum pernah disakiti hati dan fisik gara-gara masalah perbedaan ras ini. Dan mudah-mudahan saya juga tidak menyakiti orang lain dengan memakai isu ini. Berada ditengah-tengah, tidak benci, tidak juga cinta, membuat saya bisa mengabaikan ras dan tidak terlalu mempunyai afiliasi dan kedekatan dengan ras saya (apapun itu). Dengan tidak mengertinya saya tentang ras saya, lebih mudah bagi saya untuk berkata bahwa saya manusia Indonesia dan penduduk dunia. Bukan berarti menurut saya mengerti dan dekat dengan ras itu tidak bagus, tapi ketika itu menjadi halangan untuk mengenal dan bersahabat dengan penduduk dunia yang lain, ada baiknya kita berhenti sebentar dan berpikir tentang cara kita menggunakan latar belakang kita di dunia ini.

Apa yang membuat saya berbagi tentang ini? Hehe lihat saja iklan dari Malaysia di bawah ini...



PS. Ada lagi yang jatuh cinta sama giginya?

3 comments:

-Amri- said...

Saya juga punya pengalaman yg mirip. Orang tua saya warga keturunan, bapak saya orang Hokkian keturunan ke 9 dari Cina, ibu saya orang Khek keturunan ke 4 dari Cina. Tapi apakah saya tau semua ttg ini dari kecil? Tidak. Yang saya tau adalah nama saya nama Indonesia, saya ini orang Indonesia dari Makassar, dan saya tidak pernah sadar kalo saya orang Indonesia keturunan Cina. Dari kecil saya sudah memanggil anggota2 keluarga saya dengan sebutan Cina seperti koko atau cece(di Makassar rada beda, bukan cici). Saya tidak tau ini julukan2 Cina, sampai2 teman sekolah saya yg orang Bugis saya pernah tanya "itu kokomu?" Dia geleng2(tidak mengerti).

Setelah serangkaian peristiwa di tanah air yang tragis, saya jadi berpikir lagi apakah saya ini orang Indonesia atau orang Cina. Kalo saya bagian dari Indonesia, kenapa orang2 di Indonesia menganak-tirikan saya dan orang2 di komunitas saya? Di situlah saya mulai berupaya mengetahui asal muasal diri saya sebenarnya.

Krisis identitas ini semakin kuat dalam diri saya. Pada waktu itu saya sekolah di Singapur di mana mayoritas orang Cina. Saya semakin merasa saya lebih diterima dan cenderung mengakui diri saya ini Cina. Saya jadi lumayan tekun mempelajari bahasanya walaupun nilaiku selalu 50% (terus terang susah), saya suka baca sejarah Cina dan mengagumi perkembangan peradabannya yg berumur ribuan tahun.

Di saat yg bersamaan muncul rasa sentimen terhadap tanah airku sendiri. Terutama terhadap orang2nya. Saya ingat waktu dulu di bangku kelas 3 SMP di Singapur ada satu anak pejabat Indonesia yg ditransfer ke sekolah saya, di kelas saya dan duduk di samping saya. Saya tidak pernah bicara sama dia sepatah kata pun. Padahal dia orangnya baik dan sopan, tidak pernah menyinggung perasaan saya. Dalam benak saya, saya merasa iri melihat dia yang diberikan segala keistimewaan di tanah air, bapaknya mungkin korupsi uang negara tetapi kenapa kita yang kena batunya.

Sekarang kalau saya pikir lagi ttg ketidakdewasaan saya ini, saya jadi malu sendiri. Apa sih salahnya dia sampai saya musti memperlakukan dia seperti itu? Apakah dia yg menyebabkan peristiwa2 tragedi ini terjadi? Apakah dia yg membuat diskriminasi eksis di Indonesia? Saya sadar kalo orang keturunan di Indonesia juga banyak yg tidak tau aturan, makanya kurang disukai, kenapa saya hanya membenci pihak yang di seberang saja?

Usaha pemerintah Indonesia untuk merangkul kembali komunitas Tionghoa musti saya akui. Peluang berpolitik sudah semakin terbuka terutama di daerah2. Diskriminasi di lembaga2 pendidikan mulai dihapus. Walaupun ini masih proses yg berkesinambungan dan semoga makin membaik.

Buat teman2 dari komunitas Tionghoa yang mungkin merasakan apa yg saya rasakan, saya ada pesan...
Hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian. Belajarlah untuk memaafkan mereka yg bersalah kepadamu atau ke komunitasmu. Alangka indahnya apabila diskriminasi hilang dari tanah air kita tercinta, oleh sebab itu jangan mulai diskriminasi dari diri kita sendiri. Rukunlah dengan tetanggamu yang mungkin bukan serumpun denganmu. Belajarlah untuk menjadi Indonesia lagi.

Amin?

Anonymous said...

Komen lu lebih panjang dari entrynya ya, Ri? hehehe...

I think maaf2in goes both ways juga.. I'm sure there are a lot of people who have been hurt by the Chinese Indonesians too..

alice said...

ooooooo i put this video in my blog too! hahah sampe ngakak2 pas liat. tan hong ming is too cute. saya bangga menjadi ibc (indonesian born chinese) btw. nor here nor there, tapi kita beradaptasi in motherland dengan tangguh.