Saturday, August 2, 2008

Petualangan Kaum Muda Indonesia

Belajar di luar negeri: kesempatan bagi kaum muda Indonesia yang mampu "membeli" pendidikan dengan kualitas yang diidam-idamkan, baik dengan biaya sendiri ataupun beasiswa. Tetapi sayang, saat meninggalkan tanah air, bukanlah identitas Indonesia yang dibawa, melainkan budaya yang dianggap nyaman untuk diadopsi, yaitu trend yang banyak dipengaruhi oleh ukuran "coolness." Pudarnya kebanggaan akan negara sendiri, perbedaan etnis, dan motif pribadi menjauhkan kaum intelektual muda dari nasionalisme.

Nasionalisme, kata yang hampir asing dari kacamata seorang mahasiswa luar negeri seperti saya. Semenjak kecil, kata "nasionalisme" hanyalah bagian dari bacaan di buku-buku pelajaran. Walaupun dijejali dengan ini selama bertahun-tahun di sekolah, tiada nilai kebangsaan membekas. Ingatan masa remaja banyak dipenuhi oleh bujukan orang tua akan "pentingnya" menemukan keamanan dalam arti literal atau finansial dengan keadaan Indonesia yang terlihat semakin memburuk setelah krisis moneter 1998. Jika keamanan ini tak ditemukan di Indonesia, berarti negeri orang lah yang menjadi solusi. Dengan pandangan seperti ini yang dipupuk saat pikiran seorang remaja dibentuk, yang timbul adalah kritik-kritik keras tentang Indonesia tanpa adanya usaha untuk menyelidiki seluk beluk negara sendiri. Lalu, kesempatan datang untuk saya bersekolah di luar negeri yang dibawa adalah "kartu identitas" di mana tercantum Indonesia hanya sebagai kependudukan dan bahasa. Terlampau sombong, saya menjunjung tinggi idealisme yang terdapat di negara-negara tempat saya singgah sebagai pelajar seperti Amerika Serikat dan Australia. Kesempatan untuk mendapatkan kependudukan di luar negeri benar-benar diincar. Sebagai pelajar, pilihan jurusan pun dipengaruhi oleh prospek pekerjaan di negara yang bersangkutan. Sebagai pelajar yang ambisius, keinginan meraih sukses di negeri orang sangat kuat. Melihat teman yang bisa sukses di sana, munculah kekaguman; tetapi saat melihat teman yang pulang ke tanah air, dalam hati saya bertanya, "mau cari apa di tanah gersang dan korup seperti di Indonesia?" Sayangnya, saya tidak sendirian.

"Coolness" telah menjadi tolak ukur suatu nilai budaya yang dipakai kaum muda dan adalah jurang pemisah antara jiwa muda dan nasionalisme. Tolak ukur ini mungkin sebagian besar dipakai berdasarkan rasa percaya diri pada kaum muda yang muncul saat mengadopsi nilai tersebut. Nilai-nilai budaya yang sering dibandingkan ukuran coolness-nya biasanya adalah cara berpakaian, gadgets (barang-barang elektronik), sampai cara berbicara ataupun cara hidup secara menyeluruh (lifestyle). Di kota-kota yang berkesempatan untuk berkembang bersama globalisasi, anak-anak muda terlihat mengikuti jaman dengan pengaruh-pengaruh luar seperti lifestyle "ngafè", clubbing, atau yang sangat simple seperti film dan musik mancanegara. Fakta ini tidak harus ditranslasikan sebagai ungkapan rasa malu kaum muda akan budaya Indonesia yang asli, tetapi karena level coolness yang tak ditemukan pada budaya sendiri mengarahkan kami pada nilai-nilai budaya yang dilihat di media. Inilah yang dibawa saat bertolak dari Indonesia untuk belajar di negeri orang. Saat bertemu nilai budaya yang lebih "cool" di negara tersebut, hilanglah kebanggaan atas negara sendiri dan akhirnya identitas kaum muda dapat dipertanyakan. Salah satu implikasinya, beberapa Permias (Pesatuan Mahasiswa Indonesia di AS) akhirnya terjerat dengan operasi yang didasarkan atas fun, sedikit yang mempertahankan nilai budaya nasional dalam kegiatan-kegiatannya dan lebih sedikit lagi yang berani menunjukkan kultur pada masyarakat lokal di sana. Di Australia, saya pribadi belum menemukan wadah untuk apresiasi budaya, yang ada hanya pertemanan antar pelajar setanah air, dan tak lupa fun.

Paradoks: tidak seharusnya saya kaget tentang mereka yang berencana pulang ke Indonesia. Mendengar kisah hidup teman sebangsa, Indonesia bukanlah tujuan mereka, melainkan orang tua atau bisnis yang memberi arah hidup untuk selanjutnya. Dengan sedikit pilihan (atas permintaan orang tua dan sulitnya mendapat visa atau pekerjaan di luar), teman-teman melihat Indonesia sebagai lahan subur untuk meraup keuntungan dengan bisnis. Tentu saja ini bukan hal yang sepenuhnya buruk. Indonesia membutuhkan mereka yang dapat membangun fondasi ekonomi Indonesia supaya lebih kokoh. Tetapi, ketika bisnis yang dibicarakan, hal-hal lain seperti kesejahteraan buruh, konservasi lingkungan, tantangan untuk memerangi birokrasi yang mahal (alias korupsi) dalam berbisnis tidak didiskusikan. Dengan dasar manusia yang menjunjung tinggi kepentingan sendiri, kurangnya informasi tentang keadaan Indonesia sering disalahkan hanya pada pemerintah. Kalau diselidiki lebih jauh, ketika informasi ini sudah disampaikan, kaum muda malah berbalik karena mengedepankan rasa ketidakmampuan untuk membuat perubahan dalam skala besar. Yang terasa mungkin dilakukan hanya meningkatkan standar hidup sendiri atau keluarga tanpa batas.

Saya adalah produk pluralism di Indonesia. Dengan etnis Tionghoa, saya dilanda kebingungan. Saat ditanya oleh teman-teman lokal di sana akan identitas, jawaban saya adalah "Chinese Indonesian." Lebih bingung lagi saat dipertanyakan akan nilai-nilai budaya Chinese yang tak saya miliki secara whole, contoh paling mudah: bahasa. Gerakan multietnik sudah terjadi secara diam-diam. Saya harus bertanya pada diri sendiri, apakah mungkin persatuan dapat muncul jika saya terus menekankan identitas etnis sebelum menyebutkan "Indonesia"? Tak terlupa, tahun-tahun terakhir dipenuhi gerakan-gerakan etnis atau regional yang meminta kemerdekaan dari pemerintahan Indonesia. Faktor-faktor seperti ketidakpuasan akan hak-hak etnis, perbedaan yang ditekan pada masa Orde Baru, pembangunan yang tidak merata menjadi dasar serangan-serangan. Penurunan bendera Indonesia hanya salah satu contohnya.

Kaum intelektual muda yang berpotensi untuk berpikir bukanlah jumlah yang kecil. Banyak mereka yang berpetualang meraih gelar Doktor atau memenangkan kejuaran tingkat internasional. Tidak terlupa, mereka yang di luar negeri mengecap pendidikan di sekolah-sekolah ternama, walaupun hanya untuk gelar sarjana atau master. Bukan tidak mungkin potensi untuk memperbaiki segala aspek bernegara dapat dikembangkan dengan dibantu oleh nasionalisme. Pertanyaannya, apakah kaum terdidik ini hanya melihat apa yang ditawarkan oleh Indonesia atau mereka ternyata melihat apa yang dapat mereka tawarkan pada masyarakat Indonesia yang masih membutuhkan kaum pelopor dan pejuang bangsa? Pilihan yang kedua tampak sangat ideal, maka tampak sulit dicapai. Jika benar ini sulit, nasionalisme juga akan tampak sulit untuk dipupuk di benak kaum muda. Jika tidak benar, karakter nasionalisme memang terbukti eksistensinya di beberapa negara lain. Saya harus salut pada mereka yang pulang dan membawa pendidikan mahal mereka untuk ambil bagian dalam pembangunan, bukan untuk motif personal.

Tulisan ini memang tampak tidak relevan dengan keadaan Indonesia secara umum, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Secara statistik, mungkin hanya kurang dari 5% kaum muda yang mendapat kesempatan untuk belajar di luar negeri. Beberapa pembaca mungkin segan mempertimbangkan fakta ini jika kesenjangan sosial diidentifikasi. Sebaliknya, media tulis terkadang menceritakan kisah-kisah TKI atau TKW yang segan pulang ke Indonesia. Alasan yang paling utama adalah gaji yang memberi keamanan finansial. Mereka tak dapat menepis kekhawatiran mereka akan sulitnya mendapat standar hidup yang sama di negeri sendiri. Media yang memuat pun tak dapat menepis fakta yang sama. Ternyata bukan cuma mereka yang beruntung saja memilih kehidupan yang layak (atau lebih mudah) daripada perjuangan di Indonesia. Dampaknya, tidak diragukan lagi, adalah pesimisme dari berbeda kalangan ekonomi yang menggerogoti nasionalisme. Presentasi pelajar di luar negeri (atau di Indonesia sekalipun) yang bisa dibilang sangat kecil memiliki potensi besar untuk memiliki satu visi yang kokoh untuk menjadi kelompok pemikir atau pelopor. Visi yang sama dan kokoh di antara kaum muda dengan berbagai latar belakang ekonomi dan budaya apalagi kalau bukan dimotivasi oleh nasionalisme. Di Indonesia khususnya, nasionalisme bukan hanya identik dengan kebanggaan, tetapi juga kemampuan untuk mengesampingkan perbedaan untuk menjunjung tinggi rasa "sebangsa dan setanah air" dan menuju garis finis yang sama.

The "cool culture", supremasi kepentingan pribadi, dan identitas etnis telah melahap kaum muda bulat-bulat. Produk dari potensi kaum muda adalah karya di negeri orang dan kritik keras dari kejauhan, tanpa aksi. Kekayaan budaya terpuruk dengan sedikitnya kaum penerus. Social capital antar etnis yang sangat dibutuhkan sebagai pilar NKRI tak dipupuk. Nasionalisme, apalagi nation building, terlihat jauh di seberang lautan. Siapa hendak menyeberang?

Setra

1 comments:

Anonymous said...

Setra,
Salut banget atas kegelisahan yang kamu tuangain di tulisan ini. Aku kesadar banget setelah baca tulisan ini,karena jujur aja sebelumnya di otakku ini udah tertanam prasangka2 buruk dan stereotype sama anak2 Indo yang pada kuliah di LN dengan biaya Ortu. Mungkin karena generasiku udah cukup karatan jadi referensiku masih film "Catatan Si Boy" hehehe.. kalian belom pada lahir kali ya.. hope I didnt embarassing myself.
Tapi bener banget Set, keterpisahan antara dunia kaum terdidik sama realitas yang ada di masyarakat emang sangat parah. Jangankan para sarjana-sarjana lulusan LN, mereka2 yang kulian di Indo aja masih memiliki problem yang itu. Arogansi intelektual. Lebih parah lagi, aktifis (atau yang ngaku2 aktifis) juga sudah terjebak dalam kosmologi elite. Pebisnis, Politisi, Aktifis NGO semua mereka merasa punya kuasa atas suara rakyat: sok tahu tentang apa yang baik untuk mereka. Inilah penyakit elite terdidik di Indo (inget aktfis NGO sekrang ini bukan lagi kelompok marginal, mrk udah bagian dari elite juga).
Duh! semakin "pintar" seseorang, semakin jauh dia dari realitas. Apakah itu tujuan pendidikan? Mencetak smart asses yang selalu mencemooh berbagai bentuk kesadaran di luar dirinya? atau sebenarnya aku sedang melakukan hal yng sama???
Fadil